Senin, 08 Oktober 2012

Tuhan dalam Islam

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam[1][2].
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).[3] Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa.[4] Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda.[5][6] Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.[7] Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).[5][6]
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.[8] Menurut al-Qur'an, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS al-An'am[6]:103)[2]
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur'an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”[8]
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi (29:46).[9] Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh kalangan non-Muslim.

 



A.  Konsep Tuhan

Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-Qur'an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.

1. Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits

Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur'an (Al-'Alaq [96]:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan "penuturan Allah tentang diri-Nya."[10]
Selain itu menurut Al-Qur'an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A'raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur'an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.

a.  Tuhan mengirimkan utusan

Tuhan juga mengirimkan utusan-Nya saat kerusakan moral terjadi untuk mengembalikan hakekat tauhid dan menegakkan ajaran-Nya (Al-Anbiya [21]:25). Semua utusan diutus untuk tujuan yang sama, yaitu tauhid. Al-Qur'an menyebutkan perkataan nabi-nabi dahulu yang menyerukan tauhid yang sama, diantaranya nabi Nuh, Hud, Shaleh, dan Syu'aib dalam ayat surah Al-A'raf secara berurutan: ayat 59, 65, 73, dan 85. Nabi Musa dan Isa dan nabi-nabi lain juga menerima wahyu tauhid yang sama. Musa menerima wahyu tauhid, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku, (Ta Ha [20]:13-14) dan begitu pula Isa. Isa menyampaikan kepada Bani Israel untuk menembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan-nya Isa juga Tuhan Bani Israel.(Al-Ma'idah [5]:72).[11]
Kemudian sebagai nabi penutup, Tuhan mengutus Muhammad sebagai nabi untuk alam semesta. Masyarakat Arab Jahiliyah saat itu, ketika Muhammad diutus, merupakan kaum yang mengenal Allah namun dalam konsep yang salah. Arab pra-Islam memang mengenal Allah sebagai Pencipta (Al-'Ankabut [29]:61-63) dan bersumpah atas nama Allah (Al-An'am [6]:106), namun beranggapan keliru atas Allah. Mereka menganggap Allah merupakan golongan Jin (As-Saffat [37]:158), memiliki anak-anak wanita (Al-Isra' [17]:40), dan bahwa manusia karena tidak mampu berdialog dengan Allah, karena ketinggian dan kesucian-Nya, menjadikan malaikat-malaikan dan berhala-berhala untuk disembah sebagai perantara mereka dengan Allah (Az-Zumar [39]:3).

b.  Tuhan Maha Esa


Nama Allāh ditulis dalam kaligrafi Arab oleh seniman Ottoman, Hâfız Osman abad ke-17.
Keesaan Tuhan atau Tauīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (id). Al-Qur'an menegaskan keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan.[12] Menurut al-Qur'an:[12]
"Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain." (al-An'am [6]:133)
Menurut Vincent J. Cornell, al-Qur'an juga memberikan citra monis Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada: "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadid [57]:3)"[12] Sebagian Muslim walau begitu, mengkritik intepretasi yang mengacu pada pandangan monis atas Tuhan sebagai pengkaburan antara Pencipta dan dicipta, dan ketidakcocokannya dengan monoteisme redikal Islam.[13]
Ketidakmampuan Tuhan mengimplikasikan ketidakmahakuasaan Tuhan dalam mengatur konsepsi universal sebagai keuniversalan moral yang logis dan sepantasnya daripada eksistensial dan kerusakan moral (seperti dalam politeisme). Dalam hal serupa, al-Qur'an menolak bentuk pemikiran ganda sebagai gagasan dualitas atas Tuhan dengan menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diturunkan dari perilaku Tuhan dan bahwa kejahatan menyebabkan tidak adanya daya untuk menciptakan. Tuhan dalam Islam sifatnya universal daripada tuhan lokal, kesukuan, atau paroki; zat mutlak yang mengajarkan nilai kebaikan dan melarang kejahatan. [14]
Tauhid merupakan pokok bahasan Muslim. [15] Menyamakan Tuhan dengan ciptaan adalah satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an. [14] Umat Muslim percaya bahwa keseluruhan ajaran Islam bersandar pada prinsip Tauhid, [16] yaitu percaya "Allah itu Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya." Bahkan tauhid merupakan kosep teoritis yang harus dilaksanakan karena merupakan syarat mutlak setiap Muslim.[10]

c.  Sifat Tuhan

Al-Qur'an merujuk sifat Tuhan ada pada asma'ul husna (lihat QS. al-A'raf [7]:180, al-Isra' [17]:110, Ta Ha [20]:8, al-Hasyr [59]:24). Menurut Gerhard Böwering, "Nama-nama tersebut menurut tradisi dijumlahkan 99 sebagai nama tertinggi (al-ism al-aʿam), nama tertinggi Tuhan, Allāh. Perintah untuk menyeru nama-nama Tuhan dalam sastra tafsir Qurʾān ada dalam Surah Al-Isra' ayat 110, "Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma'ul husna (nama-nama yang terbaik)," dan juga Surah Al-Hasyr ayat 22-24, yang mencakup lebih dari selusin nama Tuhan."[17] "Nama-nama Tuhan yang paling baik" mencakup:
·         Maha Pemurah
·         Maha Penyayang
·         Maha Pemberi
·         Maha Pemelihara
·         Tuhan Yang Mengaruniakan Keamanan
·         Tuhan Yang Tidak tergantung siapa-siapa
·         Tuhan Yang Kekal (yang tidak pernah mati)
·         Maha Adil

d.  Tuhan Maha Tahu

Al-Qur'an menjelaskan Tuhan Maha Tahu atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk hal pribadi dan perasaan, dan menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat sembunyi dari-Nya:
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
Yunus [10]:61

2. Konsep Tuhan berdasar spekulasi

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai mendistorsi Al-Qur'an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari rasionalitas hingga agnostisisme, panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.[10]
Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif diantaranya adalah Hulul, Ittihad, dan Wahdatul Wujud.

a.   Hulul

Artikel utama untuk bagian ini adalah: hulul
Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Mansur al-Hallaj menggunakan ayat Al-Qur'an semisal surah Al-Baqarah ayat 34 untuk menjelaskan pahamnya. Dalam ayat itu berbunyi, "...sujudlah wahai para malaikat kepada Adam...". Al-Hajjaj menjelaskan bahwa mengapa Allah memerintahkan bersujud kepada Adam padahal seharusnya hanya bersujud kepada Allah dikarenakan saat itu Allah telah mengambil tempat dalam diri Adam sehingga Adam memiliki kemuliaan Allah. Al-Hajjaj juga menyebutkan hadits yang mendukung pendapatnya, seperti, "Sesungguh-Nya Allah menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya." Dan juga menurutnya hulul pernah terjadi pada diri Isa, dimana Allah mengambil tempat pada dirinya.[10]

b.   Ittihad

Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".
Berbeda dengan Hulul, jika dalam Hulul "Tuhan turun dan melebur dalam diri manusia", maka dalam Ittihad manusia-lah yang naik dan melebur dalam diri Tuhan.[10]

c.   Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi. Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku." Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan pemampakan lahir Tuhan.[10]

Menurut paham ini, Tuhan dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya. Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah.[10]

B.  Perbandingan antar agama

Beberapa sarjana barat menyatakan bahwa Muhammad juga menggunakan istilah Allah dalam berkomunikasi dengan pagan Arab dan Yahudi atau Nasrani untuk menegakkan dasar umum dalam memahami nama Tuhan, sebuah klaim Gerhard Böwering menyatakan keraguan. [17]

1.  Konsep Tuhan dalam Islam vs tuhan dalam Arab pra-Islam

Ketika membandingkan politeisme Arab pra-Islam, Tuhan dalam Islam tidak memiliki teman dan sekutu maupun pertalian antara Tuhan dengan Jin. [17] Arab pagan pra-Islam bermula dengan adanya berhala yang dibawa ke tanah Arab oleh 'Amr bin Luhay. Mereka lalu mencampur-adukkan antara monoteisme yang dibawa Ibrahim dan paganisme. Mereka percaya takdir yang kabur, kuat, dan tidak dapat ditawar-tawar melebihi apa yang manusia tidak dapat kendalikan. Paham ini diganti dengan gagasan Islam Tuhan Yang Maha Pemurah namun Maha Kuasa.[18]

2.  Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Yahudi

Menurut Francis Edwards Peters, "Al-Qur'an menuntut Muslim untuk beriman, dan sejarawan menyetujui bahwa Muhammad and pengikutnya menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan Yahudi [lihat Al-Qur'an Surah Al-'Ankabut[29]:46]. Allah Al-Qur'an adalah Tuhan Pencipta yang sama yang mengadakan perjanjian dengan Ibrahim". Peters menyatakan bahwa al-Qur'an menggambarkan Allah lebih kuat dan luas daripada Yahweh, dan sebagai Tuhan alam semesta, tidak seperti Yahweh yang hanya lebih dekat pada orang-orang Israel.[9] Menurut Encyclopedia Britannica (lihat juga bagian di bawah untuk perbandingan kasih Tuhan dalam Islam dan Kristen) [4]:


Tuhan, dikatakan dalam al-Qur'an, “mencintai yang berbuat baik,” dan dua bagian dalam al-Qur'an mengekspresikan sebuah kasih yang saling mengerti antara Tuhan dan manusia, namun Yudeo-Kristen mengajarkan “cintai Tuhan dengan segenap hatimu” tidak dirumuskan dalam Islam. Tekanan ini lebih pada kebebasan kehendak Tuhan, sehingga setiap orang harus berserah diri. Yang paling utama, “menyerahkan diri kepada Allah” (Islam) merupakan agama itu sendiri.

3.  Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Kristen

Islam dengan tegas menolak kepercayaan Kristen bahwa Tuhan itu tiga pribadi dalam satu hakekat (lihat Tritunggal). Dalam konsepsi Islam tentang Tuhan, tidak ada kesetaraan antara Tuhan dan ciptaan. Kehadiran Tuhan dipercaya ada dimanapun, dan tidak menjelma sebagai siapapun atau apapun.[18]
Kristen Barat merasa Islam sebagai agama kafir selama Perang Salib pertama dan kedua. Muhammad dipandang sebagai setan atau tuhan palsu yang disembah bersama Apollyon dan Termangant dalam trinitas yang tidak suci.[19][20] Pandangan tradisional Kristen adalah bahwa Tuhan Muhammad sama dengan Tuhannya Yesus. Ludovico Marracci (1734), penerima pengakuan dosa Paus Innosensius XI, menyatakan:[21]
Muhammad dan pengikutnya yang menganggap ortodoks, telah dan melanjutkan untuk memiliki gagasan Tuhan yang asli dan logis dan sifat-sifat-Nya (selalu mengecualikan dan menolak Trituggal), muncul sangat jelas dari Qur'an itu sendiri dan seluruh kepercayaan akan Tuhan Muhammad, sehingga akan membutuhkan banyak waktu untuk menyangkal yang beranggapan Tuhan Muhammad berbeda dengan Tuhan sejati.
Banyak pesan-pesan dalam Perjanjian Lama mengacu pada kasih Tuhan. Tema sentral dalam Perjanjian Baru adalah kasih Tuhan dalam perantaraan Yesus. Dalam Islam, kasih Tuhan muncul dalam seluruh tanda-tanda dan penciptaan Bumi dimana manusia dapat hidup dalam kehidupan yang layak.
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa;
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]:21-22)
Pujian umat Muslim kepada Tuhan yang paling umum adalah 'Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang'. Dua lainnya dari "asma'ul husna" Tuhan 'Maha Kasih sayang' (wadud) dan 'Maha Pemberi' (wahhāb). William Montgomery Watt berpegang bahwa Kristen memiliki lebih banyak tekanan dalam aturan tingkah laku Tuhan sebagai penggembala yang pergi mencari domba-domba yang hilang dan menyelamatkannya. Di sisi lain, Islam menolak sebagian doa bagi siapapun yang telah kafir. Dalam Islam, Watt mengatakan, Tuhan menyediakan nikmat bagi setiap golongan untuk mencapai kehidupan kekal (contoh: kehidupan di Surga) dengan mengirim utusan atau nabi untuk mereka. Islam juga mengembangkan doktrin perantaraan Muhammad pada Hari Kiamat yang akan menerima mereka dengan baik, meskipun yang berbuat dosa akan diadili atas dosa-dosa mereka baik di bumi maupun di neraka.[22]
C.      IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT

1.   Zaman Modern (1500 - 1800)

Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.  Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat.  Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal).  Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi.  Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.

a.    Aliran rasionalisme
dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M).  Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.  Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.

Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu "saya ragu-ragu".  Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu".  Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.  Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku berpikir (= menyadari) maka aku ada.  Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.  -- Mengapa kebenaran itu pasti?  Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah" -- "clearly and distinctly", "clara et distincta".  Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar.  Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.

Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).  Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.  Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).

Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.

b.    Aliran empririsme
nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.  Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".

Kausalitas.  Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman.  Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.  Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang).  Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.  Hukum alam adalah hukum alam.  Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.

Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera.  Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.

Dengan kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.  Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.  Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.  Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.  Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang".  Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.

Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.

Catatan.  Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan).  Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance ("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.  Filsuf penting adalah N Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).

Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal budi.  Sistem filsafatnya juga menggunakan menggunakan matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm  Leibniz (1646-1710).  Periode ketiga ditandai dengan fajar budi ("enlightenment" atau "Aufklarung").  Para filsuf katagori ini adalah John Locke (1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776).  Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.

2.  Masa kini (1800-sekarang). 

Filsafat masa kini merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).  Hegel ingin menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu prinsip.  Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat rohani.  Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun adalah materi belaka.  Maksudnya, yang sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan.  Maka seluruh realitas hanya dapat dibuat jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu sendiri tidak bisa menjadi mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi yang "mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.

Kesalahan Hegel adalah tidak menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut.  Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi, Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan.  Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi, maka materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari sini dapat difahami munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini:

Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan" kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya pada tahap awal).  Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang dirinya sendiri.  Menurut Feuerbach, yang ada bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama adalah candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam "surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas perkembangan masyarakat dan sejarah.  Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.

[Catatan. Soekarno mengklim telah mencetuskan marhaenisme sebagai marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Kualifikasi "penerapan dalam situasi dan kondisi Indonesia" (apapun itu) pastilah tidak membuat faham marhaenisme sebagai suatu  aliran filsafat dan pastilah tidak harus sama dengan faham marxisme sebagai diterapkan di dalam lingkungan masyarakat lain.]

Ditangan Friedrich Engels (1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme, yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk merubah dunia.  Sangat nyata bahwa dimana saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber keTuhanan pula!).

Eksistensialime merupakan himpunan aneka pemikiran yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat (esensi) manusia-pada-umumnya.  Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu. Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre (1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich     Nietzche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973).

Fenomenologi merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum.  "Zuruck zu den sachen selbst" -- kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima.  Kalau kita "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu "berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.

Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).

Pragmatisme tidak menanyakan "apakah itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah itu?".  Yang dipersoalkan bukan "benar atau salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan tertentu.  Tokoh aliran ini: John Dewey (1859-1914).

Neo-kantisme dan  neo-thomisme merupakan aliran-aliran yang merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh dialog dengan aliran lain.

Disamping itu masih ada aliran filsafat analitik yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku". Soal-soal falsafi seyogyanya  dipecahkan melalui analisis atas bahasa, untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan. Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).

Akhirnya sejak 1960 berkembang strukturalisme yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.

6.  Pancasila sebagai obyek kajian filsafat.

Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat.  Antara lain terkenallah temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.  Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai "satu-satunya azas" dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.  Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena  selain unsur-unsur lokal ("milik dan ciri khas bangsa Indonesia") diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman ("ordo cognoscendi"), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis ("ordo essendi") yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.

Menurut Hardono Hadi, jika Pancasila menjadi obyek kajian filsafat, maka harus ditegaskan lebih dahulu apakah dalam filsafat Pancasila itu dibicarakan filsafat tentang Pancasila (yaitu hakekat Pancasila) atau filsafat yang terdapat dalam Pancasila (yaitu muatan filsafatnya). Mengenai hal ini evidensi atau isyarat yang tak dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata "Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Republik Indonesia.  Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu, Pancasila menjadi "defining characteristics" = pernyataan jatidiri bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia.  Dalam jatidiri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri. Namun dengan menjadikan Pancasila jatidiri bangsa tidak dengan sendirinya jelas apakah nilai-nilai yang termuat di dalamnya sudah terumus jelas dan terpilah-pilah.

Sesungguhnya dalam kata "Bhinneka Tunggal Ika" terdapat isyarat utama untuk mendapatkan informasi tentang arti Pancasila, dan kunci bagi kegiatan  merumuskan muatan filsafat yang terdapat dalam Pancasila. Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang bernilai universifal dan mana yang bersifat lokal = ciri khas bangsa Indonesia.

Tugas.  "Bhinneka Tunggal Ika" secara harafiah identik dengan "E Pluribus Unum" pada lambang negara Amerika Serikat.  Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945 memiliki bobot sama dengan "Declaration of Independence" negara tersebut.  Buatlah suatu analisis mengenai perbedaan muatan dalam kedua teks itu.

Suatu kajian atas Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara.  Menurut Driyarkara, keberadaan manusia senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain.  Oleh karena itu rumusan filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut:

Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih ("liebendes Miteinadersein") dengan sesamaku.  Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut "Perikemanusiaan yang adil dan beradab".

Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup.  Penjelmaan dari perikemanusiaan ini disebut "keadilan sosial".

Perikemanusiaan itu harus kulakukan juga dalam memasyarakat.  Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggauta harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya.  Itulah demokrasi = "kerakyatan yang dipimpin ...".

Perikemanusiaan itu harus juga kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku manusia konkrit dalam perasaan, semangat dan cara berfikir.  Itulah sila kebangsaan atau "persatuan Indonesia".

Selanjutnya aku meyakini bahwa adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba tergantung.  Adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatanku sendiri.  Adaku bukan sumber dari adaku.  Yang menjadi sumber adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang mahasempurna, Tuhan yang mahaesa. Itulah dasar bagi sila pertama: "Ketuhanan yang mahaesa".


D.      Pernyataan Kesaksian Pengaruh Kata-Kata Al-Qur'an Pada Sejarah dan Dunia – Nabi Muhammad Saw. Dunia Islam

Tidak sebagai orang-orang Kristen atau Yahudi, tidak sebagai orang-orang yang bertanggung jawab secara intelektual, pernah para anggota masyarakat Barat dididik secara sensitif atau bahkan secara akurat diberitahu tentang Islam... bahkan beberapa orang yang berniat baik yang telah berhubungan dengan Islam terus menginterpretasi referensi tentang Nabi Muhammad dan penerimaan global seruannya sebagai suatu semangat yang bertahan hidup dari suku padang pasir kuno yang tak bisa dimengerti. Pandangan ini mengabaikan 14 abad peradaban Islam, subur dengan para seniman, ulama, negarawan, dermawan, ilmuwan, pejuang perkasa, pemikir... juga jumlah tak terhitung pria dan wanita beriman dan bijaksana dari hampir semua bangsa di planet. Dunia koheren yang disebut Islam, didirikan dalam visi Qur'an, tidak bisa dianggap sebagai produk individu dan ambisi nasional, yang didukung oleh kebetulan sejarah.”

Buku 'The Heart of the Qur'an' oleh Lex Hixon, yang dari sana kutipan ini diambil, berniat untuk menstimulasi para pembaca Barat untuk kembali kepada Qur'an, buku orang-orang Muslim, dengan keterbukaan dan inspirasi baru. Al-Qur'an tidak diragukan telah memiliki pengaruh sangat besar pada politik global juga pada kehidupan miliaran orang; bagi sebuah buku, dampaknya telah terbukti tak tertandingi. Isinya berkisar dari menangani pertanyaan-pertanyaan spiritualitas individu hingga mengartikulasi sistem-sistem rumit untuk memerintah masyarakat. Secara signifikan, Al-Qur'an memberikan apa yang bisa dideskripsikan sebagai suatu paradigma unik pemikiran sosial dan politik yang sebelumnya tidak diketahui. Margoliouth menjelaskan pengaruh Al-Qur'an,

“Al-Qur'an diakui menempati satu posisi penting di antara buku-buku religius dunia. Meski yang paling muda dari karya-karya fundamental yang ada di kelas literatur ini, tidak seperti yang lain ia menghasilkan pengaruh yang mengagumkan yang telah dihasilkannya terhadap massa manusia. Ia telah menciptakan suatu keseluruhan fase baru pemikiran manusia dan satu tipe karakter segar. Ia telah mentransformasi sejumlah suku heterogen semenanjung Arab menjadi bangsa para pejuang, dan kemudian berlanjut untuk menciptakan organisasi politik-religius raksasa dunia Muhammad yang merupakan salah satu kekuatan besar yang dengannya Eropa dan Timur harus yakin hari ini.”

Secara bahasa kata 'Qur'an' berarti 'membaca' dan dinyatakan sebagai 'teks yang dibaca'. Al-Qur'an juga menyebut dirinya sendiri 'kitab', yang secara kata-kata berarti buku tertulis. Jadi pentingnya menulis, membaca dan memahami al-Qur'an telah ditegaskan sejak awal Islam. Materi al-Qur'an dibagi menjadi 'Surat-Surat' atau 'Bab-Bab'. Menurut Phillip Hitti, teks tertulis terkumpul al-Qur'an adalah buku pertama yang ditulis dalam bahasa Arab. Al-Qur'an memiliki otoritas tertinggi dalam Islam sebagai satu sumber fundamental dan esensial kepercayaan, etika, hukum-hukum, dan petunjuk Islam. Bagi kaum Muslimin, al-Qur'an adalah berasal dari ketuhanan; bukan kata-kata Nabi Muhammad tapi pernyataan Sang Pencipta yang diwahyukan padanya dalam kata dan arti.
“Bacalah dengan Nama Tuhanmu”. Itu adalah beberapa kata pertama al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad lebih dari 1400 tahun yang lalu. Muhammad, yang diketahui berada dalam pengasingan dan meditasi di dalam gua di luar Mekkah, telah menerima beberapa kata pertama dari suatu buku yang memiliki dampak luar biasa di dunia yang kita huni hari ini. Tidak dikenal pernah mengarang secuil puisi apapun dan tidak memiliki bawaan spesial kemampuan retorika, Muhammad telah menerima awal dari satu buku yang akan mengatasi perkara-perkara keyakinan, legislasi, hukum internasional, politik, ritual, spiritualitas, dan ekonomi dalam 'bentuk literatur yang secara keseluruhan baru'. Armstrong menyatakan,

“Ini adalah bagaikan Muhammad telah menciptakan suatu bentuk literatur yang secara keseluruhan baru yang beberapa orang tidak siap dengan itu tapi menggugah yang lainnya. Tanpa pengalaman al-Qur'an ini, sungguh sangat tidak mungkin bahwa Islam akan mengakar.”

Gaya unik ini adalah penyebab kebangkitan intelektual dramatis para Arab gurun pasir, dan setelah 13 tahun wahyu pertama, ia menjadi referensi satu-satunya bagi satu negara baru di Madinah. Kategori ucapan baru ini, al-Qur'an, menjadi satu-satunya sumber pandangan politik, pemikiran, dan spiritual peradaban baru itu. Steingass menyatakan,

“Inilah, oleh karenanya, kelayakannya sebagai produk literatur mungkin tidak seharusnya diukur dengan beberapa aksioma cita rasa subjektif dan estetika yang telah dikonsep sebelumnya, tapi dengan pengaruh-pengaruh yang dihasilkannya di kontemporer Muhammad dan para negarawan pengikutnya. Jika al-Qur'an itu berbicara dengan sangat kuat dan meyakinkan pada hati para pendengarnya sebagaimana bersenyawa darinya dan elemen-elemen antagonistik berpusar menjadi satu tubuh yang padat dan teratur baik, digerakkan oleh ide-ide yang jauh melampaui apa yang hingga saat itu menguasai pikiran Arab, lalu tata bahasanya sempurna, karena ia menciptakan satu bangsa berperadaban dari suku-suku liar...”

Banyak para ahli sejarah, sarjana, dan penulis tidak menentang bahwa al-Qur'an telah memiliki dampak raksasa pada sejarah – sebagaimana ia hasilkan dalam politik global hari ini, menjadi satu otoritas bagi milyaran Muslim – dan maka penyebab untuk pengaruh sepanjang masa ini harus dimengerti. Adalah tujuan artikel ini untuk menunjukkan bagaimana Qur'an bisa dideskripsikan sebagai satu kategori baru kata-kata dan satu monumen literatur. Argumen-argumen rasional yang mendasari ini dan tidak bisa ditirunya Qur'an diberikan oleh kaum Muslimin untuk menjelaskan kebenaran keyakinan mereka kepada dunia yang selalu butuh bukti.




Artikel ini bermaksud memberikan kontribusi pada pertumbuhan ketertarikan dalam seruan al-Qur'an juga kekuatan sifat literaturnya dan akan menegaskan kemampuan Qur'an untuk mengungkapkan konsep-konsep dan seruan-seruan kunci dalam cara yang paling hebat, cara yang dideskripsikan oleh ahli literatur Arab yang paling berpengalaman sebagai tak bisa dipalsu dan tidak bisa disaingi sepanjang sejarah. Ahli tentang Arab terkenal H. Gibb berkomentar:

“Namun, supaya yakin, pertanyaan kelayakan literatur tidaklah untuk ditentukan atas dasar yang sudah ada tapi dalam kaitannya dengan kejeniusan Bahasa Arab; dan tidak ada manusia dalam 1500 tahun yang pernah bisa bermain atas instrumen bernada dalam dengan kekuatan, kemantapan, dan serangkaian pengaruh emosional sebagaimana yang dilakukan Muhammad.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar