Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal
dan Maha Kuasa (tauhid).[3] Dia itu wahid dan Esa (ahad),
Maha Pengasih dan Maha Kuasa.[4] Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya:
"nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat
Tuhan yang berbeda.[5][6] Semua nama tersebut mengacu pada Allah,
nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.[7] Diantara 99 nama Allah tersebut, yang
paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman)
dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).[5][6]
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai
suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran
Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.[8] Menurut al-Qur'an, "Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS al-An'am[6]:103)[2]
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun
juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur'an, Dia lebih dekat pada manusia
daripada urat nadi
manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka
berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus,
“jalan yang diridhai-Nya.”[8]
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan
sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi (29:46).[9] Namun, hal ini tidak diterima secara
universal oleh kalangan non-Muslim.
A. Konsep Tuhan
Konsep ketuhanan dalam
Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-Qur'an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga
banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang
bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif,
filosofis, bahkan mistis.
1. Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits
Menurut para mufasir,
melalui wahyu pertama al-Qur'an (Al-'Alaq [96]:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya
sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk
diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah,
sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan "penuturan Allah
tentang diri-Nya."[10]
Selain itu menurut
Al-Qur'an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak
manusia pertama kali diciptakan (Al-A'raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk
roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia
terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga
menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia
memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis
akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur'an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.
a. Tuhan mengirimkan utusan
Tuhan juga mengirimkan
utusan-Nya saat kerusakan moral terjadi untuk mengembalikan hakekat tauhid dan menegakkan ajaran-Nya (Al-Anbiya [21]:25). Semua utusan diutus untuk
tujuan yang sama, yaitu tauhid. Al-Qur'an menyebutkan perkataan nabi-nabi
dahulu yang menyerukan tauhid yang sama, diantaranya nabi Nuh,
Hud,
Shaleh, dan Syu'aib dalam ayat surah Al-A'raf secara berurutan: ayat 59, 65,
73, dan 85. Nabi Musa dan Isa
dan nabi-nabi lain juga menerima wahyu tauhid yang sama. Musa
menerima wahyu tauhid, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku, (Ta Ha [20]:13-14) dan begitu pula Isa. Isa
menyampaikan kepada Bani Israel untuk
menembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan-nya Isa juga Tuhan Bani Israel.(Al-Ma'idah [5]:72).[11]
Kemudian sebagai nabi
penutup, Tuhan mengutus Muhammad sebagai nabi untuk
alam semesta. Masyarakat Arab
Jahiliyah saat itu, ketika Muhammad diutus, merupakan kaum yang
mengenal Allah namun dalam konsep yang salah. Arab
pra-Islam memang mengenal Allah sebagai Pencipta (Al-'Ankabut
[29]:61-63) dan bersumpah atas nama Allah (Al-An'am [6]:106), namun beranggapan
keliru atas Allah. Mereka menganggap Allah merupakan golongan Jin (As-Saffat
[37]:158), memiliki anak-anak wanita (Al-Isra' [17]:40), dan bahwa manusia
karena tidak mampu berdialog dengan Allah, karena ketinggian dan kesucian-Nya,
menjadikan malaikat-malaikan dan berhala-berhala untuk disembah sebagai
perantara mereka dengan Allah (Az-Zumar [39]:3).
b. Tuhan Maha Esa
Nama Allāh
ditulis dalam kaligrafi
Arab oleh seniman Ottoman, Hâfız Osman abad ke-17.
Keesaan Tuhan atau Tauḥīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah
itu Esa dan (wāḥid). Al-Qur'an menegaskan
keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta
sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan.[12] Menurut al-Qur'an:[12]
"Dan Tuhanmu Maha
Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu
dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah),
sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain." (al-An'am [6]:133)
Menurut Vincent J.
Cornell, al-Qur'an juga memberikan citra monis Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya
sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang
akan menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada: "Dialah Yang Awal dan
Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadid [57]:3)"[12] Sebagian Muslim walau begitu,
mengkritik intepretasi yang mengacu pada pandangan monis atas Tuhan sebagai
pengkaburan antara Pencipta dan dicipta, dan ketidakcocokannya dengan
monoteisme redikal Islam.[13]
Ketidakmampuan Tuhan
mengimplikasikan ketidakmahakuasaan Tuhan dalam mengatur konsepsi universal
sebagai keuniversalan moral yang logis dan sepantasnya daripada eksistensial
dan kerusakan moral (seperti dalam politeisme). Dalam hal serupa, al-Qur'an
menolak bentuk pemikiran ganda sebagai gagasan dualitas atas Tuhan dengan
menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diturunkan dari perilaku Tuhan dan
bahwa kejahatan menyebabkan tidak adanya daya untuk menciptakan. Tuhan dalam
Islam sifatnya universal daripada tuhan lokal, kesukuan, atau paroki; zat
mutlak yang mengajarkan nilai kebaikan dan melarang kejahatan. [14]
Tauhid merupakan pokok
bahasan Muslim. [15] Menyamakan Tuhan dengan ciptaan
adalah satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni seperti yang disebutkan
dalam al-Qur'an. [14] Umat Muslim percaya bahwa keseluruhan
ajaran Islam bersandar pada prinsip Tauhid, [16] yaitu percaya "Allah itu Esa,
dan tidak ada sekutu bagi-Nya." Bahkan tauhid merupakan kosep teoritis
yang harus dilaksanakan karena merupakan syarat mutlak setiap Muslim.[10]
c. Sifat Tuhan
Al-Qur'an merujuk sifat
Tuhan ada pada asma'ul husna (lihat QS. al-A'raf [7]:180, al-Isra' [17]:110, Ta Ha [20]:8, al-Hasyr [59]:24). Menurut Gerhard Böwering,
"Nama-nama tersebut menurut tradisi dijumlahkan 99 sebagai nama tertinggi
(al-ism al-aʿẓam), nama tertinggi Tuhan,
Allāh. Perintah untuk menyeru nama-nama Tuhan dalam sastra tafsir Qurʾān ada dalam Surah Al-Isra' ayat 110, "Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai asma'ul husna (nama-nama yang terbaik)," dan
juga Surah Al-Hasyr ayat
22-24, yang mencakup lebih dari selusin nama Tuhan."[17] "Nama-nama Tuhan yang paling
baik" mencakup:
·
Maha Pemurah
·
Maha Penyayang
·
Maha Pemberi
·
Maha Pemelihara
·
Tuhan Yang Mengaruniakan Keamanan
·
Tuhan Yang Tidak tergantung siapa-siapa
·
Tuhan Yang Kekal (yang tidak pernah mati)
·
Maha Adil
d. Tuhan Maha Tahu
Al-Qur'an menjelaskan
Tuhan Maha Tahu
atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk hal pribadi dan
perasaan, dan menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat sembunyi dari-Nya:
"Kamu tidak berada
dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula)
yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh)."
—Yunus [10]:61
2. Konsep Tuhan berdasar spekulasi
Sebagian ulama berbeda
pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai
mendistorsi Al-Qur'an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan
konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari rasionalitas
hingga agnostisisme, panteisme, mistisme,
dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid
sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.[10]
Dalam Islam, bentuk
spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep tauhid sejati.
Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif diantaranya adalah Hulul,
Ittihad, dan Wahdatul Wujud.
a. Hulul
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: hulul
Hulul atau juga sering disebut
"peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa
seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur
dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut
manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut
adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan
memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.
Dalam sufistik-mistis,
orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat
(kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang
melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini
menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah
(an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Mansur al-Hallaj
menggunakan ayat Al-Qur'an semisal surah Al-Baqarah ayat 34 untuk menjelaskan
pahamnya. Dalam ayat itu berbunyi, "...sujudlah wahai para malaikat
kepada Adam...". Al-Hajjaj menjelaskan bahwa mengapa Allah
memerintahkan bersujud kepada Adam padahal seharusnya hanya
bersujud kepada Allah dikarenakan saat itu Allah telah mengambil tempat dalam
diri Adam sehingga Adam memiliki kemuliaan Allah. Al-Hajjaj juga menyebutkan
hadits yang mendukung pendapatnya, seperti, "Sesungguh-Nya Allah
menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya." Dan juga menurutnya hulul
pernah terjadi pada diri Isa, dimana Allah mengambil tempat pada dirinya.[10]
b. Ittihad
Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami.
Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu",
sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah
terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian
dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk
mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'.
Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat
ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam
hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada
kesadara ilahi".
Berbeda dengan Hulul,
jika dalam Hulul "Tuhan turun dan melebur dalam diri manusia",
maka dalam Ittihad manusia-lah yang naik dan melebur dalam diri Tuhan.[10]
c. Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud merupakan paham yang
dibawa Ibnu Arabi. Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah
harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk,
maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku." Menurutnya, Tuhan tidak
akan dikenal jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan pemampakan lahir
Tuhan.[10]
Menurut paham ini, Tuhan
dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia
memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan
alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah
adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya.
Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari
aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah.[10]
B. Perbandingan antar agama
Beberapa sarjana barat
menyatakan bahwa Muhammad juga menggunakan istilah Allah dalam berkomunikasi
dengan pagan Arab dan Yahudi atau Nasrani untuk menegakkan dasar umum dalam
memahami nama Tuhan, sebuah klaim Gerhard Böwering menyatakan keraguan. [17]
1. Konsep Tuhan dalam Islam vs tuhan dalam Arab pra-Islam
Ketika membandingkan politeisme Arab pra-Islam, Tuhan dalam Islam
tidak memiliki teman dan sekutu maupun pertalian antara Tuhan dengan Jin.
[17] Arab pagan pra-Islam bermula dengan
adanya berhala yang dibawa ke tanah Arab oleh 'Amr bin Luhay. Mereka lalu mencampur-adukkan
antara monoteisme yang dibawa Ibrahim dan paganisme. Mereka percaya takdir
yang kabur, kuat, dan tidak dapat ditawar-tawar melebihi apa yang manusia tidak
dapat kendalikan. Paham ini diganti dengan gagasan Islam Tuhan Yang Maha
Pemurah namun Maha Kuasa.[18]
2. Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Yahudi
Menurut Francis Edwards Peters, "Al-Qur'an menuntut Muslim untuk beriman, dan
sejarawan menyetujui bahwa Muhammad and pengikutnya
menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan Yahudi [lihat Al-Qur'an Surah Al-'Ankabut[29]:46].
Allah Al-Qur'an adalah Tuhan Pencipta yang sama yang mengadakan perjanjian
dengan Ibrahim". Peters menyatakan bahwa al-Qur'an
menggambarkan Allah lebih kuat dan luas daripada Yahweh, dan sebagai Tuhan alam semesta, tidak seperti Yahweh
yang hanya lebih dekat pada orang-orang Israel.[9] Menurut Encyclopedia Britannica
(lihat juga bagian di bawah untuk perbandingan kasih Tuhan dalam Islam dan
Kristen) [4]:
Tuhan, dikatakan dalam
al-Qur'an, “mencintai yang berbuat baik,” dan dua bagian dalam al-Qur'an
mengekspresikan sebuah kasih yang saling mengerti antara Tuhan dan manusia,
namun Yudeo-Kristen
mengajarkan “cintai Tuhan dengan segenap hatimu” tidak dirumuskan dalam Islam.
Tekanan ini lebih pada kebebasan kehendak Tuhan, sehingga setiap orang harus
berserah diri. Yang paling utama, “menyerahkan diri kepada Allah” (Islam)
merupakan agama itu sendiri.
3. Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Kristen
Islam dengan tegas menolak
kepercayaan Kristen bahwa Tuhan itu tiga pribadi dalam satu hakekat (lihat Tritunggal). Dalam konsepsi Islam tentang Tuhan,
tidak ada kesetaraan antara Tuhan dan ciptaan. Kehadiran Tuhan dipercaya ada
dimanapun, dan tidak menjelma sebagai siapapun atau apapun.[18]
Kristen Barat merasa Islam
sebagai agama kafir selama Perang Salib pertama
dan kedua. Muhammad
dipandang sebagai setan atau tuhan palsu yang disembah bersama Apollyon
dan Termangant
dalam trinitas yang tidak suci.[19][20] Pandangan tradisional Kristen adalah
bahwa Tuhan Muhammad sama dengan Tuhannya Yesus. Ludovico Marracci (1734),
penerima pengakuan dosa Paus Innosensius XI,
menyatakan:[21]
Muhammad dan pengikutnya
yang menganggap ortodoks, telah dan melanjutkan untuk memiliki gagasan Tuhan
yang asli dan logis dan sifat-sifat-Nya (selalu mengecualikan dan menolak
Trituggal), muncul sangat jelas dari Qur'an itu sendiri dan seluruh kepercayaan
akan Tuhan Muhammad, sehingga akan membutuhkan banyak waktu untuk menyangkal
yang beranggapan Tuhan Muhammad berbeda dengan Tuhan sejati.
Banyak pesan-pesan dalam Perjanjian Lama mengacu pada kasih Tuhan. Tema
sentral dalam Perjanjian Baru
adalah kasih Tuhan dalam perantaraan Yesus. Dalam Islam, kasih Tuhan muncul
dalam seluruh tanda-tanda dan penciptaan Bumi dimana manusia dapat hidup dalam
kehidupan yang layak.
"Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa;
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]:21-22)
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]:21-22)
Pujian umat Muslim kepada
Tuhan yang paling umum adalah 'Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang'. Dua lainnya
dari "asma'ul husna"
Tuhan 'Maha Kasih sayang' (wadud) dan 'Maha Pemberi' (wahhāb). William
Montgomery Watt berpegang bahwa Kristen memiliki lebih banyak tekanan dalam
aturan tingkah laku Tuhan sebagai penggembala yang pergi mencari
domba-domba yang hilang dan menyelamatkannya. Di sisi lain, Islam menolak
sebagian doa bagi siapapun yang telah kafir. Dalam Islam, Watt mengatakan,
Tuhan menyediakan nikmat bagi setiap golongan untuk mencapai kehidupan
kekal (contoh: kehidupan di Surga) dengan mengirim utusan atau nabi untuk
mereka. Islam juga mengembangkan doktrin perantaraan Muhammad pada Hari Kiamat
yang akan menerima mereka dengan baik, meskipun yang berbuat dosa akan diadili
atas dosa-dosa mereka baik di bumi maupun di neraka.[22]
C. IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
1. Zaman
Modern (1500 - 1800)
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari
para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada
beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin,
maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan
kedua pendapat berbeda itu.
a.
Aliran rasionalisme
dipelopori oleh Rene
Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia
menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian
kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka
kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat
diragukan, yaitu "saya ragu-ragu".
Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku
ragu-ragu". Jika aku menyangsikan
sesuatu, aku menyadari bahwa aku
menyangsikan adanya. Dengan lain kata
kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo
sum", aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal
lagi. -- Mengapa kebenaran itu
pasti? Sebab aku mengerti itu dengan
"jelas, dan terpilah-pilah" -- "clearly and distinctly",
"clara et distincta". Artinya,
yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3
realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1)
realitas pikiran (res cogitan), (2)
realitas perluasan (res extensa, "extention")
atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab
sempurna dari kedua realitas itu).
Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak
dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan
dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga.
Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran
dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya
memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan
memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja
mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari
pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer
yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor
kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada
dalam pikiran.
b.
Aliran empririsme
nyata dalam pemikiran
David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang
bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh
Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang
beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.
Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung,
sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan:
putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan,
bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri
tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan
itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume,
"aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions
(= kesadaran tertentu)".
Kausalitas.
Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang
disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala,
tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan
harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable"
(berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti
yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan
kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum
alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang
kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh
kebiasaan atau perasaan kita saja.
Hume merupakan pelopor
para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal
dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan
yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera
kita.
Dengan
kritisisme Imanuel
Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang
bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa
masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume
bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu
sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti
tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang
memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah
ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan
indera kita. Ruang dan waktu adalah cara
pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah
dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang
tak terpatahkan. Ini bentuk
pengetahuan.
Demikian Kant membuat
kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan
dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Catatan.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada
zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance ("kelahiran
kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan
dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Filsuf penting adalah N Macchiavelli
(1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis
Bacon (1561-1626).
Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal
budi. Sistem filsafatnya juga
menggunakan menggunakan matematika. Para
filsuf periode ini adalah Rene Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan
Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1710). Periode ketiga ditandai
dengan fajar budi ("enlightenment" atau "Aufklarung"). Para filsuf katagori ini adalah John Locke (1632-1704), G
Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776).
Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan
Immanuel Kant.
2. Masa kini (1800-sekarang).
Filsafat masa kini
merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel
ingin menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu
prinsip. Menurut Hegel semua yang ada
dan semua kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak
dan bersifat rohani. Namun celakanya,
Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika
betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak
menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran
pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang
sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"),
namun adalah materi belaka. Maksudnya,
yang sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal
segala sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus
dikesampingkan. Maka seluruh realitas
hanya dapat dibuat jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan
oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu sendiri tidak
bisa menjadi mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi yang
"mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa
menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah
tidak menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya,
dalam arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi
tersebut. Dengan mengatakan Yang Mutak
itu menjadi, Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan. Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang
mutlak itu materi, maka materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari
sini dapat difahami munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini:
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap
manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis
dan positif ilmiah. Manusia muda atau
suku-suku primitif pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk
"menerangkan" kenyataan.
Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan
metafisis. Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart
Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi
neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama
Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi
belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme
tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya
pada tahap awal). Feuerbach berpendapat
Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah
sarana manusia memproyeksikan cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang
dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, yang
ada bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin
menjadi adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama
adalah candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam
"surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya
pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi
atas perkembangan masyarakat dan sejarah.
Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk
itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
[Catatan. Soekarno mengklim telah mencetuskan
marhaenisme sebagai marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia.
Kualifikasi "penerapan dalam situasi dan kondisi Indonesia"
(apapun itu) pastilah tidak membuat faham marhaenisme sebagai suatu aliran filsafat dan pastilah tidak harus sama
dengan faham marxisme sebagai diterapkan di dalam lingkungan masyarakat lain.]
Ditangan Friedrich Engels
(1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran
filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme,
yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk
merubah dunia. Sangat nyata bahwa dimana
saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari
hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber
keTuhanan pula!).
Eksistensialime merupakan himpunan aneka pemikiran
yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus berpangkal pada
adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat (esensi)
manusia-pada-umumnya. Manusia-pada-umumnya
tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu. Esensi manusia ditentukan
oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre (1905-1980), Kierkegaard
(1813-1855), Friederich Nietzche
(1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel
Marcel (1889-1973).
Fenomenologi merupakan aliran (tokoh penting:
Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui
argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. "Zuruck zu den sachen selbst" --
kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang
dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek
memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau
kita "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari
pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka
obyek itu "berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita
memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak
diterapkan dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi
keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).
Pragmatisme tidak menanyakan "apakah
itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah
itu?". Yang dipersoalkan bukan
"benar atau salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan
tertentu. Tokoh aliran ini: John Dewey
(1859-1914).
Neo-kantisme dan neo-thomisme merupakan
aliran-aliran yang merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh
dialog dengan aliran lain.
Disamping itu masih ada
aliran filsafat analitik yang
menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam
berfilsafat, jangan katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan.
"Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku". Soal-soal falsafi
seyogyanya dipecahkan melalui analisis
atas bahasa, untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang
digunakan. Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena
pernyataan itu bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein
(1889-1952).
Akhirnya sejak 1960
berkembang strukturalisme yang
menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa,
agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.
6. Pancasila sebagai obyek kajian filsafat.
Sebagai filsafat dan pandangan
hidup bangsa Indonesia,
Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat. Antara lain terkenallah temuan Notonagoro
dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang
bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai
"satu-satunya azas" dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang
Pancasila dalam perspektif suatu agama karena
selain unsur-unsur lokal ("milik dan ciri khas bangsa Indonesia")
diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama.
Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat
politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan
epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman ("ordo
cognoscendi"), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis ("ordo
essendi") yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.
Menurut Hardono Hadi, jika
Pancasila menjadi obyek kajian filsafat, maka harus ditegaskan lebih dahulu
apakah dalam filsafat Pancasila itu dibicarakan filsafat tentang Pancasila (yaitu hakekat Pancasila) atau filsafat yang terdapat dalam Pancasila
(yaitu muatan filsafatnya). Mengenai hal ini evidensi atau isyarat yang tak
dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam
kata "Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu,
Pancasila menjadi "defining characteristics" = pernyataan jatidiri
bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari
bangsa Indonesia. Dalam jatidiri ada unsur kepribadian, unsur
keunikan dan unsur identitas diri. Namun dengan menjadikan Pancasila jatidiri
bangsa tidak dengan sendirinya jelas apakah nilai-nilai yang termuat di
dalamnya sudah terumus jelas dan terpilah-pilah.
Sesungguhnya dalam kata
"Bhinneka Tunggal Ika" terdapat isyarat
utama untuk mendapatkan informasi tentang arti Pancasila, dan kunci bagi kegiatan merumuskan muatan filsafat yang terdapat
dalam Pancasila. Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang
bernilai universifal dan mana yang bersifat lokal = ciri khas bangsa Indonesia.
Tugas.
"Bhinneka Tunggal Ika" secara harafiah identik dengan "E
Pluribus Unum" pada lambang negara Amerika Serikat. Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945
memiliki bobot sama dengan "Declaration of Independence" negara
tersebut. Buatlah suatu analisis
mengenai perbedaan muatan dalam kedua teks itu.
Suatu kajian atas
Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran
eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara. Menurut Driyarkara, keberadaan manusia
senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain.
Oleh karena itu rumusan filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut:
Aku manusia mengakui bahwa
adaku itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih ("liebendes
Miteinadersein") dengan sesamaku.
Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut
"Perikemanusiaan yang adil dan beradab".
Perikemanusiaan itu harus
kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan
barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan
hidup. Penjelmaan dari perikemanusiaan
ini disebut "keadilan sosial".
Perikemanusiaan itu harus
kulakukan juga dalam memasyarakat.
Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan karya
itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggauta
harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Itulah demokrasi = "kerakyatan yang
dipimpin ...".
Perikemanusiaan itu harus
juga kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah,
keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku
manusia konkrit dalam perasaan, semangat dan cara berfikir. Itulah sila kebangsaan atau "persatuan Indonesia".
Selanjutnya aku meyakini
bahwa adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba
tergantung. Adaku tidak sempurna, tidak
atas kekuatanku sendiri. Adaku bukan
sumber dari adaku. Yang menjadi sumber
adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang
mahasempurna, Tuhan yang mahaesa. Itulah dasar bagi sila pertama:
"Ketuhanan yang mahaesa".
D.
Pernyataan Kesaksian
Pengaruh Kata-Kata Al-Qur'an Pada Sejarah dan Dunia – Nabi Muhammad Saw. Dunia
Islam
“Tidak sebagai orang-orang
Kristen atau Yahudi, tidak sebagai orang-orang yang bertanggung jawab secara
intelektual, pernah para anggota masyarakat Barat dididik secara sensitif atau
bahkan secara akurat diberitahu tentang Islam... bahkan beberapa orang yang
berniat baik yang telah berhubungan dengan Islam terus menginterpretasi
referensi tentang Nabi Muhammad dan penerimaan global seruannya sebagai suatu
semangat yang bertahan hidup dari suku padang pasir kuno yang tak bisa
dimengerti. Pandangan ini mengabaikan 14 abad peradaban Islam, subur dengan
para seniman, ulama, negarawan, dermawan, ilmuwan, pejuang perkasa, pemikir...
juga jumlah tak terhitung pria dan wanita beriman dan bijaksana dari hampir
semua bangsa di planet. Dunia koheren yang disebut Islam, didirikan dalam visi
Qur'an, tidak bisa dianggap sebagai produk individu dan ambisi nasional, yang
didukung oleh kebetulan sejarah.”
Buku 'The Heart of the
Qur'an' oleh Lex Hixon, yang dari sana kutipan ini diambil, berniat untuk
menstimulasi para pembaca Barat untuk kembali kepada Qur'an, buku orang-orang
Muslim, dengan keterbukaan dan inspirasi baru. Al-Qur'an tidak diragukan telah
memiliki pengaruh sangat besar pada politik global juga pada kehidupan miliaran
orang; bagi sebuah buku, dampaknya telah terbukti tak tertandingi. Isinya berkisar dari menangani pertanyaan-pertanyaan
spiritualitas individu hingga mengartikulasi sistem-sistem rumit untuk
memerintah masyarakat. Secara signifikan, Al-Qur'an memberikan apa yang bisa
dideskripsikan sebagai suatu paradigma unik pemikiran sosial dan politik yang
sebelumnya tidak diketahui. Margoliouth menjelaskan pengaruh
Al-Qur'an,
“Al-Qur'an diakui
menempati satu posisi penting di antara buku-buku religius dunia. Meski yang
paling muda dari karya-karya fundamental yang ada di kelas literatur ini, tidak
seperti yang lain ia menghasilkan pengaruh yang mengagumkan yang telah
dihasilkannya terhadap massa
manusia. Ia telah menciptakan suatu keseluruhan fase baru pemikiran manusia dan
satu tipe karakter segar. Ia telah mentransformasi sejumlah suku heterogen
semenanjung Arab menjadi bangsa para pejuang, dan kemudian berlanjut untuk menciptakan organisasi politik-religius
raksasa dunia Muhammad yang merupakan salah satu kekuatan besar yang dengannya
Eropa dan Timur harus yakin hari ini.”
Secara bahasa kata
'Qur'an' berarti 'membaca' dan dinyatakan sebagai 'teks yang dibaca'. Al-Qur'an
juga menyebut dirinya sendiri 'kitab', yang secara kata-kata berarti buku tertulis.
Jadi pentingnya menulis, membaca dan memahami al-Qur'an telah ditegaskan sejak
awal Islam. Materi al-Qur'an dibagi menjadi 'Surat-Surat' atau 'Bab-Bab'.
Menurut Phillip Hitti, teks tertulis terkumpul al-Qur'an adalah buku pertama
yang ditulis dalam bahasa Arab. Al-Qur'an memiliki
otoritas tertinggi dalam Islam sebagai satu sumber fundamental dan esensial
kepercayaan, etika, hukum-hukum, dan petunjuk Islam. Bagi kaum Muslimin, al-Qur'an adalah berasal dari
ketuhanan; bukan kata-kata Nabi Muhammad tapi pernyataan Sang Pencipta yang
diwahyukan padanya dalam kata dan arti.
“Bacalah dengan Nama
Tuhanmu”. Itu adalah beberapa kata pertama al-Qur'an yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad lebih dari 1400 tahun yang lalu. Muhammad, yang diketahui berada
dalam pengasingan dan meditasi di dalam gua di luar Mekkah, telah menerima
beberapa kata pertama dari suatu buku yang memiliki dampak luar biasa di dunia
yang kita huni hari ini. Tidak dikenal pernah mengarang secuil puisi apapun dan
tidak memiliki bawaan spesial kemampuan retorika, Muhammad telah menerima awal
dari satu buku yang akan mengatasi
perkara-perkara keyakinan, legislasi, hukum internasional, politik, ritual,
spiritualitas, dan ekonomi dalam 'bentuk literatur yang secara
keseluruhan baru'. Armstrong menyatakan,
“Ini adalah bagaikan
Muhammad telah menciptakan suatu bentuk literatur yang secara keseluruhan baru
yang beberapa orang tidak siap dengan itu tapi menggugah yang lainnya. Tanpa
pengalaman al-Qur'an ini, sungguh sangat tidak mungkin bahwa Islam akan
mengakar.”
Gaya unik ini adalah
penyebab kebangkitan intelektual dramatis para Arab gurun pasir, dan setelah 13
tahun wahyu pertama, ia menjadi referensi satu-satunya bagi satu negara baru di
Madinah. Kategori ucapan baru ini, al-Qur'an,
menjadi satu-satunya sumber pandangan politik, pemikiran, dan spiritual
peradaban baru itu. Steingass
menyatakan,
“Inilah, oleh karenanya,
kelayakannya sebagai produk literatur mungkin tidak seharusnya diukur dengan
beberapa aksioma cita rasa subjektif dan estetika yang telah dikonsep
sebelumnya, tapi dengan pengaruh-pengaruh yang dihasilkannya di kontemporer
Muhammad dan para negarawan pengikutnya. Jika al-Qur'an itu berbicara dengan
sangat kuat dan meyakinkan pada hati para pendengarnya sebagaimana bersenyawa
darinya dan elemen-elemen antagonistik berpusar menjadi satu tubuh yang padat
dan teratur baik, digerakkan oleh ide-ide yang jauh melampaui apa yang hingga
saat itu menguasai pikiran Arab, lalu tata bahasanya sempurna, karena ia
menciptakan satu bangsa berperadaban dari suku-suku liar...”
Banyak para ahli sejarah,
sarjana, dan penulis tidak menentang bahwa al-Qur'an telah memiliki dampak
raksasa pada sejarah – sebagaimana ia hasilkan dalam politik global hari ini,
menjadi satu otoritas bagi milyaran Muslim – dan maka penyebab untuk pengaruh
sepanjang masa ini harus dimengerti. Adalah tujuan artikel ini untuk
menunjukkan bagaimana Qur'an bisa dideskripsikan sebagai satu kategori baru
kata-kata dan satu monumen literatur. Argumen-argumen rasional yang mendasari
ini dan tidak bisa ditirunya Qur'an diberikan oleh kaum Muslimin untuk
menjelaskan kebenaran keyakinan mereka kepada dunia yang selalu butuh bukti.
Artikel ini bermaksud
memberikan kontribusi pada pertumbuhan ketertarikan dalam seruan al-Qur'an juga
kekuatan sifat literaturnya dan akan menegaskan kemampuan Qur'an untuk
mengungkapkan konsep-konsep dan seruan-seruan kunci dalam cara yang paling
hebat, cara yang dideskripsikan oleh ahli literatur Arab yang paling
berpengalaman sebagai tak bisa dipalsu dan tidak bisa disaingi sepanjang
sejarah. Ahli tentang Arab terkenal H. Gibb berkomentar:
“Namun, supaya yakin,
pertanyaan kelayakan literatur tidaklah untuk ditentukan atas dasar yang sudah
ada tapi dalam kaitannya dengan kejeniusan Bahasa Arab; dan tidak ada manusia
dalam 1500 tahun yang pernah bisa bermain atas instrumen bernada dalam dengan
kekuatan, kemantapan, dan serangkaian pengaruh emosional sebagaimana yang
dilakukan Muhammad.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar