Senin, 15 Oktober 2012

Haji Mabrur


Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),
قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.” [1]
Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”[2]
Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.
Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.
Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sahMabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.” [3]
Tanda-Tanda Haji Mabrur
Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal,[4] karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [5]
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair [6]:
Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang haji mabrur hajinya.
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.[7]
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.[8]
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[9]
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [10]
Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan  jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.[11]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [12]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.[13]
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.[14]
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal  yang lebih mantap dan  benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.”[15] Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”[16]
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.” [17]
Penutup
Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda.  Wallahu a’lam.
Referensi:
  1. Al-Quran al-Karim.
  2. Shahih al-Bukhari, Tahqiq Musthofa al-Bugha, Dar Ibn Katsir.
  3. Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ Turats.
  4. Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah.
  5. Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
  6. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
  7. At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr.
  8. Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali, Darul Ma’rifah Beirut.
  9. Lathaiful Ma’arif fima li Mawasil ‘Am minal Wazhaif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syamilah.
  10. Qutul Qulub, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Maktabah asy-Syamilah.
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA

[1] HR. al-Bukhari (3073) dan Muslim (2824).
[2] HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349).
[3] Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68.
[4] Lihat: Ihya Ulumiddin 1/261.

Jumat, 12 Oktober 2012

Allah is Right

Allah's Rights upon His creation are the rights that must be kept the most. Allah is the sole Creator and Sustainer of the universe. He is the Almighty who created everything with absolute wisdom. Allah is the One who initiated every being from nothing. He is the One who protects humans in their mothers' wombs, as infants, as children and as adults. He, alone, sustains all humans and provides them with food and every aspect of life. Allah said, what translated means, "And Allah has brought you out from the wombs of your mothers while you know nothing. And He gave you hearing, sight and hearts that you might give thanks (to Allah)." [16:78]
{وَاللَّـهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَۙلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}
Transliteration: Wa Allāhu 'Akhrajakum Min Buţūni 'Ummahātikum Lā Ta`lamūna Shay'āan Wa Ja`ala Lakumu As-Sam`a Wa Al-'Abşāra Wa Al-'Af'idata La`allakum Tashkurūna

If Allah refuses sustenance to anyone he will be instantly destroyed. Allah's mercy is what keeps humans and everything else alive.

Allah's control over his slaves is perfect. His bounties are countless. If this is His role in the life of humans, then His rights are what one must keep the most. Allah does not need sustenance from His slaves. He said, what translated means: "We ask not of you a provision. We provide it for you. And the good end is for the Muttaqeen (the ones who fear Allah)." [20:132]
{لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًاۖنَّحْنُ نَرْزُقُكَۗوَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ}
Transliteration: Lā Nas'aluka Rizqāan Naĥnu Narzuquka Wa Al-`Āqibatu Lilttaqwá
Allah only wants one thing from His slaves. "And I (Allah) created not the Jinn and mankind except they should worship Me (alone). I seek not any provision from them nor do I ask that they should feed Me. Verily, Allah is the All-Provider, Owner of Power, the Most Strong." [51:56-58]
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُو;٥٦;مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ;٥٧;إِنَّ اللَّـهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ;}
Transliteration: Wa Mā Khalaqtu Al-Jinna Wa Al-'Insa 'Illā Liya`budūni(56) Mā 'Urīdu Minhum Min Rizqin Wa Mā 'Urīdu 'An Yuţ`imūni(57) 'Inna Allāha Huwa Ar-Razzāqu Dhū Al-Qūwati Al-Matīnu(58)

Allah only wants mankind to worship Him alone and ascribe no partners with Him in worship, and truly be His slaves. He wants them to surrender to His will, as they surrender to His control for the means of their lives. It is only fair to worship only the One who holds the existence of everything and everyone is in His Hands. One should thank Allah who, alone, provides for him by worshipping Him alone. Allah said, what translated means: "And whatever of blessings and good things you have, it is from Allah. Then, when harm touches you, unto Him you cry aloud for help." [16:53]
{وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِۖثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ}
Transliteration: Wa Mā Bikum Min Ni`matin Famina Allāhi Thumma 'Idhā Massakumu Ađ-Đurru Fa'ilayhi Taj'arūna

What Allah requires His slaves to do is easy. He does not want hardship to come to those striving to worship Him. He said, what translated means: "And strive hard in Allah's cause as you ought to strive (with sincerity). He has chosen you (to convey Islam), and has not laid upon you in religion any hardship, it is the religion of your father Abraham (Islam). It is He (Allah) who has named you Muslims both before and in this (the Quran), that the Messenger (Mohammad) may be a witness over you and you be witnesses over mankind. So offer prayer perfectly, give Zakat (compulsory charity), and hold fast to Allah, He is your Lord, what an excellent Lord and what an excellent helper!" [22:78]
{وَجَاهِدُوا فِي اللَّـهِ حَقَّ جِهَادِهِۚهُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍۚمِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَۚهُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَـٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِۚفَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّـهِ هُوَ مَوْلَاكُمْۖفَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ}
Transliteration: Wa Jāhidū Fī Allāhi Ĥaqqa Jihādihi Huwa Ajtabākum Wa Mā Ja`ala `Alaykum Fī Ad-Dīni Min Ĥarajin Millata 'Abīkum 'Ibrāhīma Huwa Sammākumu Al-Muslimyna Min Qablu Wa Fī Hādhā Liyakūna Ar-Rasūlu Shahīdāan `Alaykum Wa Takūnū Shuhadā'a `Alá An-Nāsi Fa'aqīmū Aş-Şalāata Wa 'Ātū Az-Zakāata Wa A`taşimū Billāhi Huwa Mawlākum Fani`ma Al-Mawlá Wa Ni`ma An-Naşīru

What Allah wants from us is to worship Him with sincerity, and to perform religious deeds. Five prayers a day bring forgiveness from Him and purity in the heart. Muslims must try to perform prayer in the best form: "So fearAllah as much as you are able." [64:16]
{فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}
Transliteration: Fāttaqū Allāha Mā Astaţa`tum

The Prophet said, what translated means "Stand while praying, if you cannot then while sitting, and if you cannot then while laying on your side." [Al-Bukhari]
«كانت بي بواسير ، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة ، فقال: صل قائما ، فإن لم تستطع
فقاعدا ، فإن لم تستطع فعلى جنب
»

Allah also wants His slaves to pay a small amount of their money to the poor, the needy, strangers who have no money, the indebted and to others who are eligible to take money from Zakat. Zakat is so minimal that it does not harm the rich, yet it provides tremendous benefits for the poor. Allah also requires fasting in the lunar month of Ramadhan. He said, what translated means: "So whoever of you sights the (crescent on the first night of the) month (of Ramadhan), he must fast that month, and whoever is ill or on a journey, the same number (of days he misses) from other days." [2:185]
{فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖوَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
Transliteration: Faman Shahida Minkumu Ash-Shahra Falyaşumhu Wa Man Kāna Marīđāan 'Aw `Alá Safarin Fa`iddatun Min 'Ayyāmin 'Ukhara

Also, Hajj (pilgrimage) to Makkah once in lifetime is obligatory upon all Muslims, if they are able to do so. In general, we have the obligation to abide by all of Allah's orders, and stay away from all He had made forbidden upon us.

Above mentioned are the duties of Allah's slaves towards Him. They are not difficult to perform. The reward outweighs the requirements by far. The reward is "And whoever is removed away from the Fire and admitted to Paradise, he indeed is successful. The life of this world is only the enjoyment of deception." [3:185]
{فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗوَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ}
Transliteration:Faman Zuĥziĥa `Ani An-Nāri Wa 'Udkhila Al-Jannata Faqad Fāza Wa Mā Al-Ĥayāatu Ad-Dunyā 'Illā Matā`u Al-Ghurūri

The way to success

Important pieces of Advice on "the Way to Success"

All Praises and thanks be to Allah, we thank Him, and we seek His help and ask for His forgiveness. We appeal for Allah's refuge from the evils of our souls and from the evils of our deeds.

This who is guided by Allah will not be misled by anyone, and this who is misled by Him will not be guided by anyone. I bear witness that there is no god but Allah with no partner and that Muhammad is His slave and Messenger, peace and blessings of Allah be upon him. My noble brother: Have you ever thought of drawing a safe path for your success in life… in your business… in your study… and in all your affairs?! Have you tried to understand the reasons of success? Have you perceived why some people succeed in their affairs while others fail? We will deal here with the notion of success… and demonstrate its ways and obstacles…

What is the meaning of success in the life of a Muslim?
 Success in the Life of a Muslim My noble brother: Know that the notion of success in the Muslim's life is closely connected to his/her belief and approach in life... A Muslim's success in his/her life's affairs is not separated at all from his/her success in his/her afterlife affairs. They are connected by the belief in Allah and the Hereafter. A Muslim does not aspire to the pleasure of the present worldly life while discarding his/her share in the afterlife. They understand that whatever success they achieve in life at the expense of their afterlife, it is a loss in the end. And it is known that what is well that ends well.
Allah Almighty has said: {Say (O Muhammad): "The losers are those who will lose themselves and their families on the Day of Resurrection. Verily, that will be a manifest loss!"}

 [Surat Az-Zumar: 15]. {قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ} الزمر: 15

Transliteration: qul inna alkhasireena allatheena khasiroo anfusahum waahleehim yawma alqiyamati ala thalika huwa alkhusranu almubeenu
He, Glory be to Him, has said: {and they rejoice in the life of the world, whereas the life of this world as compared with the Hereafter is but a brief passing enjoyment.}

[Surat Ar-Ra'd: 26]. {وَفَرِحُواْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مَتَاعٌ} الرعد: 26

 Transliteration: wafarihoo bialhayati alddunyawama alhayatu alddunya fee alakhirati illa mataAAun
Brother: So you have to understand that your success in this life cannot be a real one unless it is in a way which pleases Allah so that it will not be of bad consequences in your end. Such matter cannot be achieved unless you combine two things upon which the success in life and afterlife is based: The first: high determination that motivates you to seek the means. The second: the fear of Allah by which you escape from torment. Determination generates the heat of aspiration to the sublime matters whether in this worldly life or of the Hereafter. Fearing from Allah directs and controls your determination by righteousness and commitment in a way that makes success an evidence for you, not against you before Allah. Following, brother, are the means of success and its way: Methods of Success: First: Sincerity: it is the blessing of deeds and their key to success. So, my noble brother, if you want to succeed in your work and in all your life, you should reform your intention in all matters, and that you make it in accordance to what Allah Glorified and Exalted, wants.
The Prophet, peace and blessings of Allah be upon Him, has said: "The reward of deeds depends upon the intentions and every person will get the reward according to what he has intended." [Reported by Al-Bukhari]. «إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى» رواه البخاري Whatever your goal in life and your desire from your work are, if your intention is to benefit yourself, then it is your goal in life. However, if your intention is to benefit yourself to strengthen it in obedience or to benefit Muslims, and you intend to thank Allah Glorified and Exalted for that, you are, then, heading towards a means of acceptance. Seeking Allah by deeds entails Allah Almighty' love; and Allah's love is a key of acceptance as was mentioned in the Hadith. The Messenger of Allah, peace and blessings of Allah be upon Him, has said: "If Allah loves a person, He calls Gabriel saying: 'Allah loves so and so; O Gabriel, love him.' Gabriel would love him, and then Gabriel would make an announcement among the residents of the Heaven: 'Allah loves so-and-so, therefore, you should love him also.' So, all the residents of the Heavens would love him and then he is granted the acceptance of the people of the earth." [Reported by Al-Bukhari]. «إذا أحب الله العبد نادى جبريل: إن الله يحب فلانا فأحبه، فيحبه جبريل، فينادي جبريل في أهل السماء: إن الله يحب فلانا فأحبوه، فيحبه أهل السماء، ثم يوضع له القبول في أهل الأرض» رواه البخاري O brother, remedy your intention and see what do you want from your work? What is the aim of your study? If you see it rightful, so commit yourself to it as it is the key of acceptance. If you find in your intention the trace of love to celebrity or fame, hypocrisy, pride, arrogance and vanity, so reform your intention as deeds become fruitless by bad intentions. The Prophet, peace and blessings of Allah be upon Him, has said: "This who learns knowledge that is learned for the sake of Allah Glorified and Exalted, he does not learn it but only to gain the perishable goods of the worldly life will not find the fragrance of Paradise in the Hereafter." O brother, be sincere in your intention to be gifted with acceptance. Make, by your good intention, the one success as two successes: one in this worldly life and one in the Hereafter. Second: do not make your success in life as all your determination. Live, however, as a strange and make success in it as a way to the success of the Hereafter {And indeed the Hereafter is better for you than the present (life of this world).} [Surat Ad-Duha: 4]. {وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى} الضحى: 4 Transliteration: Walalakhiratu khayrun laka mina aloola Suppose that you own all the earth And people yield to you so what then Are not your place tomorrow is the bottom of your grave And dust will fill this and that Do not make this worldly life and its enjoyment as your utmost concern so you exert all your efforts for that and forget your share in the Hereafter. This will close the means of success. You will then work more and harder and will be deprived from yielding the fruits. In the Hadith, the Messenger of Allah, peace and blessings of Allah be upon him, has said: "verily, whoever takes the Hereafter as is his concern, Allah makes his richness in his heart and reunites him and this worldly life will come to him forced. And whoever has this worldly life as is his concern, Allah makes his poverty between his eyes and disperses him and he will not gain from this worldly life but only what is destined for him." [Al-Albani, authentic due to other narrations]. «من كانت الآخرة همه، جعل الله غناه في قلبه، وجمع له شمله وأتته الدنيا وهي راغمة ومن كانت الدنيا همه جعل الله فقره بين عينيه وفرق عليه شمله ولم يأته من الدنيا إلا ما قدر له» الألباني، صحيح لغيره O you who endeavors himself Demands this world in illness and in pain This world is not for you and you are not for it So make the two concerns as only one Ibn Al-Qayyim, may Allah have mercy on him, said: "If the slave is concerned, in day and night, only with Allah alone, Allah Almighty will fulfill all his needs, bear all his concerns and will empty his heart for His love, his tongue for His remembrance and his organs for His obedience. If he is concerned, in day and night, with this worldly life, Allah will make him bear its concerns, distresses and annoyances and will make him engaged with himself. His heart is busy from His love with the love of people, his tongue from His remembrance with their remembrance and his organs from His obedience with their services and businesses. He drudges like beasts in serving others. So whoever turns away from the worshipping, obedience and love of Allah is afflicted by the worshipping, love and servicing of the creatures". In addition, the Prophet, peace and blessings of Allah be upon Him, has said in the Hadith: "whoever makes all concerns as only one; which is the concern of the Hereafter, Allah will suffice him from all other concerns; and this whose concerns of the conditions of the worldly life are ramified, Allah will not care in which valley he perishes" [Declared good by Al-Albani]. «من جعل الهموم هما واحدا، هم المعاد، كفاه الله سائر همومه، و من تشعبت به الهموم من أحوال الدنيا لم يبال الله في أي أوديتها هلك» حسنه الألباني O brother, do not make all your concern in succeeding in this worldly life. Money will be consumed, position will end and glory will vanish. Only good deeds remain, so make them your greatest concern. If so, Allah has promised you with two things: The first: to, more quickly, bring you each and every good The second: to suffice you from all concerns. These are all mentioned in the words of Allah Almighty: {Whoever works righteousness - whether male or female - while he (or she) is a true believer (of Islâmic Monotheism) verily, to him We will give a good life (in this world with respect, contentment and lawful provision), and We shall pay them certainly a reward in proportion to the best of what they used to do (i.e. Paradise in the Hereafter)} [Surat An-Nahl: 97]. {مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ} النحل: 97 Transliteration: Man AAamila salihan min thakarin aw ontha wahuwa muminun falanuhyiyannahu hayatan tayyibatan walanajziyannahum ajrahum biahsani ma kanoo yaAAmaloona The good life is the title of success. The aim from things is its benefit. The aim of success is but happiness and the good life. For how long you will be in travelling Long seeking going and coming Home emigrant does not benefit you as being estranged From lovers who do not know conditions Once in the East, once in the West Death, due to greediness, is not recalled If you are satisfied livelihood will come peacefully Satisfaction is richness; it is not a lot of money Third: Fearing Allah: this is the key for all good and the prevention from all evil. Allah Almighty has said: {And whosoever fears Allâh and keeps his duty to Him, He will make a way for him to get out (from every difficulty). (2) And He will provide him from (sources) he never could imagine.} [Surat At-Talâq: 2-3]. {وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ}الطلاق: 2-3 Transliteration: waman yattaqi Allaha yajAAal lahu makhrajan (2)Wayarzuqhu min haythu la yahtasibu It is a way out from distresses and the key for livelihoods. Allah Almighty has said: {and whosoever fears Allâh and keeps his duty to Him, He will make his matter easy for him.} [Surat At-Talâq: 4]. {وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا} الطلاق: 4 Transliteration: waman yattaqi Allaha yajAAal lahu min amrihi yusran Ibn Kathir, may Allah have mercy on him, said: "it means that He facilitates his affairs, makes it easy for him and grants him a speedy relief and a quick way out." My noble brother: make fearing Allah the key of your success in all matters. Ponder on and work upon His ordains, so He facilitates your affairs. Avoid committing His forbiddance, so He prevents you from afflictions and dooms. Be benevolent to His slaves, so He will be supporter for you. Approach Him by good deeds, so He will be faster with all good for you. Put your trust in Him in your matters, so He will be sufficient for you in all your affairs. Allah Almighty has said: {And whosoever puts his trust in Allâh, then He will suffice him} [Surat At-Talâq: 3]. {وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ} الطلاق: 3 Transliteration: waman yatawakkal AAala Allahi fahuwahasbuhu Brother: remember that you are in need of Allah. He alone disposes the affairs… feeds people… and clothes people… {Who is he that can provide for you if He should withhold His provision? Nay, but they continue to be in pride, and (they) flee (from the truth).} [Surat Al-Mulk: 21]. {أَمَّنْ هَـٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ ۚ بَل لَّجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ} الملك: 21 Transliteration: Amman hatha allathee yarzuqukum in amsaka rizqahu bal lajjoo fee AAutuwwin wanufoorin He protects and guards them at day and by night. He saves their lives and existence. All creatures are in need of Him. So, do not forget that you are in need for His help, in need for His success. Whatever your efforts are, without Allah's blessing, they are fruitless. A poet said: Unless Allah supports the boy The first thing to destroy him is his diligence Fourth: let your determination be high: brother, if you intend to follow the road of success in your life, putting your trust on Allah, seeking His help, fearing Him, ignoring your intention for money, so you have to know that Allah Glorified and Exalted has fixed cosmic laws concerning life. Some of the laws of Allah in life are toiling and diligence. Any living being has to struggle and toil to survive and live. Each living being has, willy-nilly, to struggle the hardships of life, to struggle its living, hunger, heat, cold and hardships according to what he has of the determination, power, resolution and success. Allah Almighty has said: {Verily, We have created man in toil.} [Surat Al-Balad: 4]. {لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ} البلد: 4 Transliteration: Laqad khalaqna alinsana fee kabadin This means that man toils the diversities of this worldly life and the matters of the Hereafter. Acquiring the Hereafter requires from you; patience, diligence and toil. Livelihood needs you to toil. Acquiring knowledge, as well, needs you to toil. Whoever has a goal in this life has to exert efforts to achieve it. A workless cannot gain desires! And here appears the value of high determination. This who has it is concerned with his/her goal. He/she is never satisfied with inferiority. The core of his/her goal is to live in nobility, die in nobility and be resurrected in the Hereafter with nobility. Brother, beware of increasing your determination and decreasing your religion. You aspire for prestige, money, position and power while you wreck your religion. This is not high determination. This is, however, the obeyed miserliness of which the Prophet peace and blessings of Allah be upon Him, has said: "Two hungry fierce wolves left with sheep; eating and spoiling, will not be as messier for the religion of a Muslim who asks for wealth and glory." [Al-Albani said: good authentic]. «ما ذئبان ضاريان في حظيرة يأكلان ويفسدان؛ بأضر فيها من حب الشرف وحب المال في دين المرء المسلم» قال الألباني: حسن صحيح This who spends days in collecting money Fearing poverty, this he does is poverty Do not think that poverty is that out of richness Poverty of religion is one of the worst poverties High determination is praised as long as it is an aspiration that pleases Allah and that it is not harmful to one's religion. This is the praised determination that becomes a very powerful reason for success. Ibn Al-Jawzi, may Allah have mercy on him, said: "This who reflects clearly will be guided to the requirement of the noblest standings and will be prohibited from being satisfied with the inferiority at any case. A poet said: I have not seen in people's faults a fault As the deficit of the capable for perfection So the sane should aspire for the utmost possible goal. If it were supposed for a man to ascend to the sky, it would be a very ugly defect to be satisfied to stay on earth. If prophecy could be acquired by diligence, a neglectful of this would be at the rock bottom. As matters are not alike, then one has to acquire the utmost learning. Imitation is a very ugly deficiency. If one has a strong determination, it will elevate him then to choose to himself a doctrine and not to imitate the doctrine of anyone else (do not stay in laziness. What has been missed is being missed due to laziness. Any gaining is reached by diligence and resolution. Determination boils in the hearts like the boiling of what is inside pots." [Said Al-Khatir, (the Hunting of the Thought) p.286] If souls are grand From their aspirations bodies will tire Fifth: good pondering into matters: by continuous planning, preserving arrangement, wise use of time and leisure and avoidance of confusion and disorder. Anyone who can divide efforts on time accurately by giving important goals more effort and time than the less important businesses, he/she must succeed. This can only be achieved by a sane person who can put matters into their proper place. {He grants Hikmah to whom He pleases, and he, to whom Hikmah is granted, is indeed granted abundant good.} [Surat Al-Baqarah: 269]. {يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا} البقرة: 269 Transliteration: Yutee alhikmata man yashao waman yuta alhikmata faqad ootiya khayran katheeran (Hikmah literally means wisdom, but it means here the knowledge, and the understanding of the Qur'ân, and the Sunnah and one's ability to speak and act in the correct and right way) and think my brother, about the words of the Messenger of Allah, Peace and blessings of Allah be upon him, in the Hadith: "There are two blessings which many people lose: (They are) health and free time for doing good" [Reported by Al-Bukhari]. «نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ» رواه البخاري It is evidence that time and high determination have a strong role in achievement and success. Inactivity and wasting time with what has no benefit for a Muslim is a disadvantage in two ways: First: it is a disadvantage in the Hereafter, because the remorse of the people of the Hereafter will be for each moment at which one did not remember Allah, so what about a moment at which one disobeyed Allah! Second: it is a disadvantage in this worldly life, as a man who wastes time uselessly must lose a lot of benefits. As the degree of the people of resolution, resolutions are achieved And as the degree of the people of honor, honors are achieved Inferiorities are great in the eyes of the inferior And great things are inferior in the eyes of the great Yahya Ibn Mu'az said: "the aggrieved is the one who inactivates his/her days with the fruitless, empowers his/her organs for the things that would destroy them, and dies before being sobered up from the hidden violations." One of the ancestors said: "night and day work on you so you should work on them." Abu al-Abbas al-Dynury said: "there is nothing greater or nicer than time and heart and you are wasting both time and heart." Brother: be wise in disposing your affairs, hold yourself responsible for your time and define your duties towards your Lord, your soul, your family and your worldly life obligations. If you manage your matters well by organizing, planning and accountability, you will succeed in most of your affairs. Do not procrastinate today's businesses to tomorrow. Do not sleep in the times of duties. Do not be desperate in critical times. Know that persistence is the way of victory and that patience is the key for relief. Be as a poet said: A heart that looks at its thoughts and a hand That passes affairs and a soul that its fun is fatigue. And as another poet said: I have not got possession by wishes But with days that made the forepart grey I wore for it the turbidity of dust as If you saw unclear to see the weather clear Do not accompany the people of slackening and laziness. If you accompany them so let it be in fear and apprehension of them. Do not look at the pleasures of the people of idleness; they are but in a way of failure that you do not see its signs. Look at the people of seriousness. Read in their stories in history. Ask about their affairs. You will find that they have busied themselves with the most useful and righteous deeds. Peace and blessings of Allah be upon our Prophet Muhammad and upon all his family and companions. Written by: Abu Al-Hassan ibn Muhammad Al-Faqeeh Translated by Wathakker website en.wathakker.net

How to make your wife happy?

The following is a summary of the book "How to make your wife happy by Sheikh Mohammed Abdelhaleem Hamed. Beautiful Reception After returning from work, school, travel, or whatever has separated you: Begin with a good greeting. Start with Assalamau 'Aliaykum and a smile. Salam is a sunnah and a du'aa for her as well. Shake her hand and leave bad news for later! Sweet Speech and Enchanting Invitations Choose words that are positive and avoid negative ones. Give her your attention when you speak of she speaks. Speak with clarity and repeat words if necessary until she understands. Call her with the nice names that she likes, e.g. my sweet-heart, honey, saaliha, etc. Friendliness and Recreation Spend time talking together. Spread to her goods news. Remember your good memories together. Games and Distractions Joking around & having a sense of humor. Playing and competing with each other in sports or whatever. Taking her to watch permissible (halal) types of entertainment. Avoiding prohibited (haram) things in your choices of entertainment. Assistance in the Household Doing what you as an individual can/like to do that helps out, especially if she is sick or tired. The most important thing is making it obvious that he appreciates her hard work. Consultation (Shurah) Specifically in family matters. Giving her the feeling that her opinion is important to you. Studying her opinion carefully. Be willing to change an opinion for hers if it is better. Thanking her for helping him with her opinions. Visiting Others Choosing well raised people to build relations with. There is a great reward in visiting relatives and pious people. (Not in wasting time while visiting!) Pay attention to ensure Islamic manners during visits. Not forcing her to visit whom she does not feel comfortable with. Conduct During Travel Offer a warm farewell and good advice. Ask her to pray for him. Ask pious relatives and friends to take care of the family in your absence. Give her enough money for what she might need. Try to stay in touch with her whether by phone, e-mail, letters, etc.. Return as soon as possible. Bring her a gift! Avoid returning at an unexpected time or at night. Take her with you if possible. Financial Support The husband needs to be generous within his financial capabilities. He should not be a miser with his money (nor wasteful). He gets rewards for all what he spends on her sustenance even for a small piece of bread that he feeds her by his hand (hadeith). He is strongly encouraged to give to her before she asks him. Smelling Good and Physical Beautification Following the Sunnah in removing hair from the groin and underarms. Always being clean and neat. Put on perfume for her. Intercourse It is obligatory to do it habitually if you have no excuse (sickness, etc.) Start with "Bismillah" and the authentic du'a. Enter into her in the proper place only (not the anus). Begin with foreplay including words of love. Continue until you have satisfied her desire. Relax and joke around afterwards. Avoid intercourse during the monthly period because it haram Do what you can to avoid damaging her level of Hiyaa (shyness and modesty) such as taking your clothes together instead of asking her to do it first while he is looking on. Avoid positions during intercourse that may harm her such as putting pressure on her chest and blocking her breath, especially if you are heavy. Choose suitable times for intercourse and be considerate as sometimes she maybe sick or exhausted. Guarding Privacy Avoid disclosing private information such as bedroom secrets, her personal problems and other private matters. Aiding in the Obedience to Allah Wake her up in the last third of the night to pray "Qiyam-ul-Layl" (extra prayer done at night with long sujood and ruku'ua). Teach her what you know of the Qur'an and its tafseer. Teach her "Dhikr" (ways to remember Allah by the example of the prophet) in the morning and evening. Encourage her to spend money for the sake of Allah such as in a charity sale. Take her to Hajj and Umrah when you can afford to do so. Showing Respect for her Family and Friends Take her to visit her family and relatives, especially her parents. Invite them to visit her and welcome them. Give them presents on special occasions. Help them when needed with money, effort, etc.. Keep good relations with her family after her death if she dies first. Also in this case the husband is encouraged to follow the sunnah and keep giving what she used to give in her life to her friends and family. (Islamic) Training & Admonition This includes: The basics of Islam Her duties and rights Reading and writing Encouraging her to attend lessons and halaqahs Islamic rules (ahkam) related to women Buying Islamic books and tapes for the home library Admirable Jealousy Ensure she is wearing proper hijab before leaving house. Restrict free mixing with non-mahram men. Avoiding excess jealousy. Examples of this are: 1- Analyzing every word and sentence she says and overloading her speech by meanings that she did not mean 2- Preventing her from going out of the house when the reasons are just. 3- Preventing her from answering the phone. Patience and Mildness Problems are expected in every marriage so this is normal. What is wrong is excessive responses and magnifying problems until a marital breakdown. Anger should be shown when she exceeds the boundaries of Allah SWT, by delaying prayers, backbiting, watching prohibited scenes on TV, etc.. Forgive the mistakes she does to you. Correcting her Mistakes First, implicit and explicit advice several times. Then by turning your back to her in bed (displaying your feelings). Note that this does not include leaving the bedroom to another room, leaving the house to another place, or not talking with her. The last solution is lightly hitting (when allowable) her. In this case, the husband should consider the following: He should know that sunnah is to avoid beating as the Prophet PBUH never beat a woman or a servant. He should do it only in extreme cases of disobedience, e.g. refusing intercourse without cause frequently, constantly not praying on time, leaving the house for long periods of time without permission nor refusing to tell him where she had been, etc.. It should not be done except after having turned from her bed and discussing the matter with her as mentioned in Qur'an . He should not hit her hard injuring her, or hit her on her face or on sensitive parts of her body. He should avoid shaming her such as by hitting her with a shoe, etc. Pardoning and Appropriate Censure Accounting her only for larger mistakes. Forgive mistakes done to him but account her for mistakes done in Allah's rights, e.g. delaying prayers, etc.. Remember all the good she does whenever she makes a mistake. Remember that all humans err so try to find excuses for her such as maybe she is tired, sad, having her monthly cycle or that her commitment to Islam is growing. Avoid attacking her for the bad cooking of the food as the Prophet PBUH never blamed any of his wives for this. If he likes the food, he eats and if he doesn't then he does not eat and does not comment. Before declaring her to be in error, try other indirect approaches that are more subtle than direct accusations Escape from using insults and words that may hurt her feelings. When it becomes necessary to discuss a problem wait until you have privacy from others. Waiting until the anger has subsided a bit can help to keep a control on your words. Finally, please make Du'a for the writer; Sheikh Mohammad Abdelhaleem Hamed, for the translator brother Abu Talhah and for reviewer Br. Adam Qurashi. Remember this is not a perfect translation so forgive us our faults and correct our errors. Muslim Students' Association University of Alberta Edmonton, Canada February, 1999. Taken from : Al-Haramain.org Newsletter

Do'a from Quran

" And when My servants ask thee concerning Me, I am indeed close (to them): I respond to the dua (prayer) of every suppliant when they calleth on Me " [ Quran 2:186 ] 1. Our Lord! Grant us good in this world and good in the life to come and keep us safe from the torment of the Fire (2:201) 2. Our Lord! Bestow on us endurance and make our foothold sure and give us help against those who reject faith. (2:250) 3. Our Lord! Take us not to task if we forget or fall into error. (2:286) 4. Our Lord! Lay not upon us such a burden as You did lay upon those before us. (2:286) 5. Our Lord! Impose not on us that which we have not the strength to bear, grant us forgiveness and have mercy on us. You are our Protector. Help us against those who deny the truth. (2:286) 6. Our Lord! Let not our hearts deviate from the truth after selves, and unless You grant us forgiveness and bestow Your mercy upon us, we shall most certainly be lost! (7:23) 7. Our Lord! Place us not among the people who have been guilty of evildoing. (7:47) 8. Our Lord! Lay open the truth between us and our people, for You are the best of all to lay open the truth. (7:89) 9. Our Lord! Pour out on us patience and constancy, and make us die as those who have surrendered themselves unto You. (7:126) 10. Our Lord! Make us not a trial for the evildoing folk, and save as by Your mercy from people who deny the truth (10:85-86) 11. Our Lord! You truly know all that we may hide [in our hearts] as well as all that we bring into the open, for nothing whatever, be it on earth or in heaven, remains hidden from Allah (14:38) 12. Our Lord! Bestow on us mercy from Your presence and dispose of our affairs for us in the right way. (18:10) & (59:10) 13. Our Lord! In You we have placed our trust, and to You do we turn in repentance, for unto You is the end of all journeys. (60:4) 14. Our Lord! Perfect our light for us and forgive us our sins, for verily You have power over all things. (66:8) 15. Surah Al-An'am 6.162: Say (O Muhammad SAW): "Verily, my Salât (prayer), my sacrifice, my living, and my dying are for Allah, the Lord of the 'Alamîn (mankind, jinns and all that exists). Our Lord! Perfect our light for us and forgive us our sins, for verily You have power over all things. (66:8) 16. Surah Al-An'am 6.162: Say (O Muhammad SAW): "Verily, my Salât (prayer), my sacrifice, my living, and my dying are for Allah, the Lord of the 'Alamîn (mankind, jinns and all that exists).

Cat Stevens : How I came to Islam

All I have to say is all what you know already, to confirm what you already know, the message of the Prophet (Sallallahu alaihi wa sallam) as given by God - the Religion of Truth. As human beings we are given a consciousness and a duty that has placed us at the top of creation. Man is created to be God's deputy on earth, and it is important to realize the obligation to rid ourselves of all illusions and to make our lives a preparation for the next life. Anybody who misses this chance is not likely to be given another, to be brought back again and again, because it says in Qur'an Majeed that when man is brought to account, he will say, {O Lord, send us back and give us another chance} The Lord will say, {If I send you back you will do the same} MY EARLY RELIGIOUS UPBRINGING I was brought up in the modern world of all the luxury and the high life of show business. I was born in a Christian home, but we know that every child is born in his original nature - it is only his parents that turn him to this or that religion. I was given this religion (Christianity) and thought this way. I was taught that God exists, but there was no direct contact with God, so we had to make contact with Him through Jesus - he was in fact the door to God. This was more or less accepted by me, but I did not swallow it all. I looked at some of the statues of Jesus; they were just stones with no life. And when they said that God is three, I was puzzled even more but could not argue. I more or less believed it, because I had to have respect for the faith of my parents. POP STAR Gradually I became alienated from this religious upbringing. I started making music. I wanted to be a big star. All those things I saw in the films and on the media took hold of me, and perhaps I thought this was my God, the goal of making money. I had an uncle who had a beautiful car. "Well," I said, "he has it made. He has a lot of money." The people around me influenced me to think that this was it; this world was their God. I decided then that this was the life for me; to make a lot of money, have a 'great life.' Now my examples were the pop stars. I started making songs, but deep down I had a feeling for humanity, a feeling that if I became rich I would help the needy. (It says in the Qur'an, we make a promise, but when we make something, we want to hold onto it and become greedy.) So what happened was that I became very famous. I was still a teenager, my name and photo were splashed in all the media. They made me larger than life, so I wanted to live larger than life and the only way to do that was to be intoxicated (with liquor and drugs). IN HOSPITAL After a year of financial success and 'high' living, I became very ill, contracted TB and had to be hospitalized. It was then that I started to think: What was to happen to me? Was I just a body, and my goal in life was merely to satisfy this body? I realized now that this calamity was a blessing given to me by Allah, a chance to open my eyes - "Why am I here? Why am I in bed?" - and I started looking for some of the answers. At that time there was great interest in the Eastern mysticism. I began reading, and the first thing I began to become aware of was death, and that the soul moves on; it does not stop. I felt I was taking the road to bliss and high accomplishment. I started meditating and even became a vegetarian. I now believed in 'peace and flower power,' and this was the general trend. But what I did believe in particular was that I was not just a body. This awareness came to me at the hospital. One day when I was walking and I was caught in the rain, I began running to the shelter and then I realized, 'Wait a minute, my body is getting wet, my body is telling me I am getting wet.' This made me think of a saying that the body is like a donkey, and it has to be trained where it has to go. Otherwise, the donkey will lead you where it wants to go. Then I realized I had a will, a God-given gift: follow the will of God. I was fascinated by the new termino- logy I was learning in the Eastern religion. By now I was fed up with Christianity. I started making music again and this time I started reflecting my own thoughts. I remember the lyric of one of my songs. It goes like this: "I wish I knew, I wish I knew what makes the Heaven, what makes the Hell. Do I get to know You in my bed or some dusty cell while others reach the big hotel?" and I knew I was on the Path. I also wrote another song, "The Way to Find God Out." I became even more famous in the world of music. I really had a difficult time because I was getting rich and famous, and at the same time, I was sincerely searching for the Truth. Then I came to a stage where I decided that Buddhism is all right and noble, but I was not ready to leave the world. I was too attached to the world and was not prepared to become a monk and to isolate myself from society. I tried Zen and Ching, numerology, tarot cards and astrology. I tried to look back into the Bible and could not find anything. At this time I did not know anything about Islam, and then, what I regarded as a miracle occurred. My brother had visited the mosque in Jerusalem and was greatly impressed that while on the one hand it throbbed with life (unlike the churches and synagogues which were empty), on the other hand, an atmosphere of peace and tranquillity prevailed. THE QUR'AN When he came to London he brought back a translation of the Qur'an, which he gave to me. He did not become a Muslim, but he felt something in this religion, and thought I might find something in it also. And when I received the book, a guidance that would explain everything to me - who I was; what was the purpose of life; what was the reality and what would be the reality; and where I came from - I realized that this was the true religion; religion not in the sense the West understands it, not the type for only your old age. In the West, whoever wishes to embrace a religion and make it his only way of life is deemed a fanatic. I was not a fanatic, I was at first confused between the body and the soul. Then I realized that the body and soul are not apart and you don't have to go to the mountain to be religious. We must follow the will of God. Then we can rise higher than the angels. The first thing I wanted to do now was to be a Muslim. I realized that everything belongs to God, that slumber does not overtake Him. He created everything. At this point I began to lose the pride in me, because hereto I had thought the reason I was here was because of my own greatness. But I realized that I did not create myself, and the whole purpose of my being here was to submit to the teaching that has been perfected by the religion we know as Al-Islam. At this point I started discovering my faith. I felt I was a Muslim. On reading the Qur'an, I now realized that all the Prophets sent by God brought the same message. Why then were the Jews and Christians different? I know now how the Jews did not accept Jesus as the Messiah and that they had changed His Word. Even the Christians misunderstand God's Word and called Jesus the son of God. Everything made so much sense. This is the beauty of the Qur'an; it asks you to reflect and reason, and not to worship the sun or moon but the One Who has created everything. The Qur'an asks man to reflect upon the sun and moon and God's creation in general. Do you realize how different the sun is from the moon? They are at varying distances from the earth, yet appear the same size to us; at times one seems to overlap the other. Even when many of the astronauts go to space, they see the insignificant size of the earth and vastness of space. They become very religious, because they have seen the Signs of Allah. When I read the Qur'an further, it talked about prayer, kindness and charity. I was not a Muslim yet, but I felt that the only answer for me was the Qur'an, and God had sent it to me, and I kept it a secret. But the Qur'an also speaks on different l I began to understand it on anothlevel, where the Qur'an says, {Those who believe do not take disbelievers for friends and the believers are brothers} Thus at this point I wished to meet my Muslim brothers. CONVERSION Then I decided to journey to Jerusalem (as my brother had done). At Jerusalem, I went to the mosque and sat down. A man asked me what I wanted. I told him I was a Muslim. He asked what was my name. I told him, "Stevens." He was confused. I then joined the prayer, though not so successfully. Back in London, I met a sister called Nafisa. I told her I wanted to embrace Islam and she directed me to the New Regent Mosque. This was in 1977, about one and a half years after I received the Qur'an. Now I realized that I must get rid of my pride, get rid of Iblis, and face one direction. So on a Friday, after Jumma' I went to the Imam and declared my faith (the Kalima) at this hands. You have before you someone who had achieved fame and fortune. But guidance was something that eluded me, no matter how hard I tried, until I was shown the Qur'an. Now I realize I can get in direct contact with God, unlike Christianity or any other religion. As one Hindu lady told me, "You don't understand the Hindus. We believe in one God; we use these objects (idols) to merely concentrate." What she was saying was that in order to reach God, one has to create associates, that are idols for the purpose. But Islam removes all these barriers. The only thing that moves the believers from the disbelievers is the salat. This is the process of purification. Finally I wish to say that everything I do is for the pleasure of Allah and pray that you gain some inspirations from my experiences. Furthermore, I would like to stress that I did not come into contact with any Muslim before I embraced Islam. I read the Qur'an first and realized that no person is perfect. Islam is perfect, and if we imitate the conduct of the Holy Prophet (Sallallahu alaihi wa sallam) we will be successful. May Allah give us guidance to follow the path of the ummah of Muhammad (Sallallahu alaihi wa sallam). Ameen!

Senin, 08 Oktober 2012

Waria / Khunsa

Di antara anggota masyarakat kita terdapat waria / khunsa dan disebut juga banci.
Bagaimana ketentuan hukum bagi waria tersebut dalam masalah sholat, imam sholat, perwalian, dan warisan serta lain-lainnya.

Fiqhus Sunnah Juz III halaman 523
Khunsa ada dua macam yaitu : Khunsa Wadih (jelas) dan Khunsa Musykil (samar-samar).

Khunsa wadih dihukumkan laki-laki manakala sifat-sifatnya seperti laki-laki, maka ia dapat menjadi wali, mendapatkan bagian laki-laki (ashabah) dalam waris dan batal wudlunya jika bersentuhan kulit wanita dengan ketentuan lainnya yang berlaku bagi laki-laki sejati.

Dihukumkan wanita jika sifat-sifatnya menyerupai sifat wanita, menerima waris sebagai bagian wanita, batal wudlu jika bersentuhan dengan laki-laki dan ketentuan lainnya yang berlaku bagi wanita sejati.

Musykil yaitu yang sifat-sifatnya tidak jelas, dalam ketentuan hukumnya :
1. Dapat bagian warisan terkecil sisa yang dibagikan atau warisan ditahan dahulu hingga menjadi wadih (jelas)
2. Kesepakatan ahli waris, akibat hukum bila ia tetap musykil, maka ia tidak boleh menjadi imam  sholat dan semacamnya kecuali ia telah menjadi wadih (jelas)

Jadi hukum tentang waria disesuaikan dengan hukum yang berlaku bagi kecenderungan yang lebih kuat dari status jenis kelamin yang dimilikinya.

Wallahu a'lam.

Masyarakat Madani

A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani (sebagai terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya, semua potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita-cita dari bangsa ini. Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Kenapa, karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan "terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluraliseme]" , serta taqwa, jujur, dan taat hokum [Bandingkan dengan Masykuri Abdillah, 1999:4].
Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan".
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia [Conference Book, London, 1978:16-17]. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pendidikan Islam didisain menuju masyarakat madani Indonesia.

1. Konsep Masyarakat Madani
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi sipil dari semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-
nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluralisme] [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268].
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah [masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” [1996: 28-50] yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan [prevalence of force] adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan [the tendency to equalize the share of utility]. Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good], kujuan akhir memang kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk
mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan [seigniorial or profit]. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat [a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogin [Mufid, 1999:213].
Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" [a multi quota society]. Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat “madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni] - terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya [Mufid, 1999:213-214]. Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.

2. Pendidikan Islam
Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan? Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan [Kartini Kartono, 1997:11]. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama [Ahmad D. Marimba, 1978:20]. Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan [melimpahkan] pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah [Zuhairin, 1985:2].
Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan [innate] yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan [domain] dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian [akhirat]? Demikian beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas , memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan
seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang [dewasa] secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang [yang belum dewasa]. Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan" [Anwar Jasin, 1985:2].
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2], atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-Nahlawi, 1995:26].
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar Jasin, 1985:2].
Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan intelek, kecerdasan], melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ...Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif" [M.Rusli Karim, 1991:29-32].
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu [Anwar Jasin, 1985:2]. Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30]. Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori
tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah [Anwar Jasin, 1985:3]. Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini" [Zaini Dahlan, 1998:304]. Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya [pada al-Mu'minun:115 dan al-Baqrah:286]. Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah [pada al-Ahzab : 72]. Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain [pada Faathir:18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan - kesadaran nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik [pada ar-Rahman:3-4]. Pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active learning] [Anwar Jasin, 1985:4-5].
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi
bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia – akhirat] dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits [ajaran Islam].

3. Pembaharuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa, 1991:11-13]. Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a] konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi
konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural ) diperhatikan. Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial – cultural] yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Rangkuman dari Anwar Jasin, 1985:8 –9].
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat madani]. Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya [ignorance] akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri ; Universalitas, Supermasi, Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari dan untuk bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b] pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, [d] pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan [Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya
lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum [non-agama] dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya [hasilnya] serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.

4. Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut : [1] Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang dicita-citakan. [2] Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. (3) Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon, Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, 1995.
Ahmad D. Marimba, 1974, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma'arif, Bandung, Cet.III,.
Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, Jakarta.
Conference Book, London, 1978.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahts fi 'L-Madzhab al-Tarbawy 'Inda 'L-Ghazaly, Maktabah Nadhlah, Mesir, 1964., Terj., Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, Konsep Pendidikan al-Ghazali, P3M, Jakarta, Cet. I, 1986.
H.A.R. Tilar, 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I,.
Imam Barnadib, 1997, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cet. Kesembilan,.
Komaruddin Hidayat, 1998, Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26 September.
Masykuri Abdillah, 1999, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari.
Mufid, 1998, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", Tanggal, 25-26 September.
Muslim Usa (editor)1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I,
M.Rusli Karim, 1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, Cet.Pertama.
Roihan Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soroyo, 1991, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah.
Thoha Hamim, 1999, Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan Toleransi Beragama, Koran Harian "Jawa Pos", Kamis Kliwon, Tanggal, 11 Maret.
Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II,