Senin, 10 Maret 2014

K.H. Bahaudin Mudhary : Kiyahi Pintar Segala Jenis Alat Musik



 Kiyahi Madura yang Hafal Injil



Sosok almarhum K.H. Bahaudin Mudhary (1920-1979) tentu tidak asing bagi peminat studi Perbandingan Agama di Indonesia. Namanya mencuat seiring terbitnya buku berjudul Dialog Masalah Ketuhanan Yesus,  hasil dialognya dengan Antonius Widuri, penganut Kristen Katolik Roma. Dialog seputar masalah ketuhanan Yesus itu direkam dan disaksikan oleh sejumlah pengurus Yayasan Pesantren Sumenep. Dialog itu pun mengantarkan Antonius pada cahaya Islam.
Beragam tanggapan muncul atas terbitnya karya ini. Terakhir, buku Dialog itu diterbitkan ulang oleh Cambridge University Press,  Inggris dan juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda “Dialoog over de Goddelijkheid van Jezus”. Buku ini diakui  sebagai salah satu rujukan otoritatif dalam diskursus ilmiah terkait.
K.H. Bahaudin Mudhary adalah pria kelahiran Sumenep, Madura,  23 April 1920. Ia menguasai sejumlah bahasa asing antara lain Bahasa Arab, Jepang, Jerman, Perancis, dan Belanda. Penguasaan bahasa ini cukup membantu dalam mengakses berbagai versi Bibel. Kekayaaan bahasa inilah yang cukup menonjol mewarnai alur dialogis bukunya.
Pilihan hidupnya adalah menjadi da’i dan membaktikan ilmu bagi pendidikan masyarakat. Pada 1947, ia pernah menjadi komandan Resimen Hizbullah. Tahun 1949, mendirikan Yayasan Pesantren Sumenep. Selanjutnya pada 1954, ia  menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Sumenep. Kyai Bahaudin juga pernah diamanahi sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Sumenep, Ketua Umum GUPPI Jawa Timur, ketua MUI Jawa Timur, dan anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur. Hingga akhir hayat, ia  mengabdikan diri sebagai pengasuh Pesantren Kepanjian Sumenep. (Lihat K.H. Bahaudin Mudhary. Dialog Masalah Ketuhanan Yesus. Cetakan VI. (Pustaka Dai, Surabaya, 1998).
Sebenarnya buku karya Kyai dari Sumenep ini tentang Kristologi bukan hanya Dialog Masalah Ketuhanan Yesus. Ia juga menulis buku Dialog Masalah Kebenaran Bibel, dokumentasi hasil dialog pula sebagaimana buku pertama. Pria kelahiran Sumenep tersebut juga memiliki karya tulis seputar agama Islam yang telah dibukukan. Hanya saja karya lainnya nampak kurang dikenal dibandingkan karya monumental tentang “Ketuhanan Yesus” tersebut.

“Penyesuaian”
Membaca buku  Dialog Masalah Ketuhanan Yesus perlu kecermatan tambahan. Pasalnya, ayat-ayat Bibel saat ini memiliki “perbedaan” redaksional dengan Bibel yang digunakan sekitar masa kehidupan Sang Kiai. Almarhum menggunakan rujukan Bibel terbitan semasa hidupnya. Sementara Bibel yang terbit saat ini telah mengalami berbagai proses editing bahasa.  Perubahan itu juga berdampak pada substansi persoalan.
Misal, Kiai Bahaudin Mudhary menyebutkan bahwa dalam II Samuel 8: 9 dan 10, nama raja Hamat adalah Toi. Namun dalam kitab I Tawarikh 18: 9 nama raja Hamat adalah Tohu. (Mudhary,1998: 88-89). Dalam “Alkitab” terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1968 kedua perbedaan nama raja Hamat tersebut masih dapat ditemukan. Menurut, Holy Bible King James Version, nama raja Hamat dalam II Samuel 8: 9-10 adalah To-i, sedangkan dalam I Tawarikh 18: 9 bernama To-u. (Lihat Holy Bible Authorised King James Version. (Colins World, Amerika)). Akan tetapi “Alkitab” terbitan LAI tahun 2007, baik dalam II Samuel 8: 9-10 maupun I Tawarikh 18: 9, nama raja Hamat adalah Tou.
Kontradiksi yang lain dapat ditemui dalam II Samuel 23: 8 dan I Tawarikh 11: 11. (Mudhary, 1998: 92-93). Dalam II Samuel 23: 8 “Alkitab” terbitan LAI tahun 1968 masih dapat dijumpai bunyi ayat berikut:
“Bermula, maka inilah nama segala pahlawan jang pada Daud, Josjeb Basjebet bin Tachkemoni, kepala segala penghulu, ia pun bergelar pentjutjuk dan penikam lembing, sebab ditikamnja akan delapan ratus orang dalam sekali sadja perang.”

Informasi II Samuel 23: 8 di atas berbeda dengan keterangan yang diberikan dalam  I Tawarikh 11: 11  terbitan LAI tahun 1968, sebagai berikut:
 
“Maka inilah bilangan segala pahlawan jang pada Daud itu: Jasobam bin Hachmoni, kepala orang tiga puluh, jang berlajamkan lembingnya kepada orang tiga ratus, ditikamnja akan mereka itu sekalian dalam sekali berperang.”

Sementara itu, King James Version yang menyebutkan rincian sebagai berikut:
“These be the names of the mighty men whom David had: The Tachmonite that sat in the seat, chief among the captains; the same was Adino the Eznite: he lift up his spear against eight hundred, whom he slew at one time.” (II Samuel 23: 8)

“And this is the number of the mighty men whom David had; Jashobeam, an Hachmonite, the chief of the captains: he lifted up his spear against three hundred slain by him at one time.” (I Tawarikh/Chronicles 11: 11)

Perubahan itu kemudian tampak nyata jika dibandingkan dengan versi “Alkitab” terbitan LAI tahun 2007 sebagai berikut:
“Inilah nama para pahlawan yang mengiringi Daud: Isybaal, orang Hakhmoni, kepala triwira; ia mengayunkan tombaknya melawan delapan ratus orang yang tertikam mati dalam satu pertempuran.” (II Samuel 23: 8)

“Inilah daftar para pahlawan yang mengiringi Daud: Yasobam bin Hakhmoni, kepala triwira; ia mengayunkan tombaknya melawan tiga ratus orang yang tertikam mati dalam satu pertempuran.” (I Tawarikh 11: 11)

Kontradiksi dan “penyesuaian” serupa banyak dijumpai dalam Bibel. Hasil dialog K.H. Bahaudin Mudhary tersebut setidaknya menjadi salah satu “saksi” dokumentatif adanya pengubahan redaksional “kitab suci”. Andaikan Kyai Bahaudin masih hidup, masalah ini tentu akan menjadi kajian yang menarik baginya. Soal perubahan dan keragaman teks telah menjadi bagian yang lazim dalam sejarah perkembangan teks Bibel.
Bart D. Ehrman, Pakar New Testament University of Carolina menulis “We can expect that in the earliest copies, especially, mistakes were commonly made in transcription. Indeed, we have solved evidence that this was the case, as it was matter of occasional complaint by Christians reading those text and trying to uncover the original words of their authors”, tegas Ehrman. (Lihat Bart. D. Ehrman. Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed the Bible and Why. (HarperCollins Publishers, San Francisco, 2005).
Jadi, meskipun telah terjadi perkembangan terhadap versi teks Bibel yang menjadi rujukan Kyai Bahauddin saat dialognya,  karya monumental Dialog Masalah Ketuhanan Yesus ini tidak akan kehilangan “semangat” dan relevansinya. Karya  ini telah memberikan sumbangan besar dalam studi Kristologi di Indonesia, bahkan di dunia internasional.
Lahir, hadir, dan berpulang meninggalkan buah pikir, demikianlah K.H. Bahaudin Mudhary. Sosok kharismatik dan humoris ini wafat pada 4 Desember 1979 di Surabaya. Jasad boleh berkalang tanah, namun gagasan dan semangatnya terus berpendar.

Rabu, 05 Maret 2014

SHOLAT TASBIH



SHOLAT TASBIH

A.     Pengertian dan Cara Shalat Tasbih
Shalat tasbih termasuk salah satu shalat sunat yang dianjurkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Salat ini diajarkan Rasulullah SAW kepada pamannya yakni sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib. Kalau bisa dilakukan setiap malam, jika tidak mampu seminggu sekali, jika tidak mampu juga sebulan sekali, jika tidak mampu juga setahun sekali atau tidak mampu juga seumur hidup sekali. Demikianlah anjuran agama Islam yang tidak memaksa untuk melakukan ibadah secara ikhlas.
Shalat sunat tasbih semua riwayat sepakat dengan empat rokaat, jika pada siang hari dengan satu kali salam (langsung niat empat rakaat), sedang di malam hari dua rokaat-dua rokaat dengan dua kali salam (dua kali shalat dengan masing-masing 2 rakaat) dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka’atnya, jadi keseluruhan bacaan tasbih dalam shalat tasbih 4 rokaat tersebut 300 kali tasbih.

Kata Syaikh Ali al-Khawwash, ‘Sebaiknya shalat tasbih dilakukan sebelum shalat hajat, karena shalat tasbih ini menghapus dosa-dosa, dengan demikian menjadi sebab terkabulnya hajat’

B.     Niat Shalat Tasbih

Niat untuk shalat tasbih yang dilakukan dengan dua kali salam (2 rakaat):

أُصَلِّى سُنَّةَ التَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Sedang untuk yang satu kali salam (4 rakaat) sebagai berikut:

أُصَلِّى سُنَّةَ التَّسْبِيْحِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِلَّهِ تَعَالَى
Secara umum, shalat tasbih sama dengan tata cara shalat yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbih yaitu:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali pada tiap raka’at dengan perincian sebagai berikut.

No.
Waktu
Jml. Tasbih
1
Setelah pembacaan surat al fatihah dan surat pendek saat berdiri
15 kali
2
Setelah tasbih ruku' (Subhana rabiyyal adzim...)
10 Kali
3
Setelah I'tidal
10 Kali
4
Setelah tasbih sujud pertama (Subhana rabiyyal a'la...)
10 Kali
5
Setelah duduk di antara dua sujud
10 Kali
6
Setelah tasbih sujud kedua (Subhana rabiyyal a'la...)
10 Kali
7
Setelah duduk istirahat sebelum berdiri (atau sebelum salam tergantung pada raka'at keberapa)
10 Kali

Jumlah total satu raka'at
75

Jumlah total empat raka'at
4 X 75
= 300 kali

Demikianlah rinciannya, bahwa shalat Tasbih dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali tasyahud, yaitu pada raka’at yang keempat lalu salam (jika dilakukan pagi hari). Bisa juga dilakukan dengan cara dua raka’at-dua raka’at (jika dilakukan malam hari), Sesuai yang diterangkan oleh Rasulullah SAW: “Shalat malam itu, dua-dua” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim) di mana setiap dua raka’at membaca tasyahud kemudian salam.Waktu shalat tasbih yang paling utama adalah sesudah tenggelamnya matahari, sebagaimana dalam riwayat ‘Abdullah bin Amr. Tetapi dalam riwayat Ikrimah yang mursal diterangkan bahwa boleh malam hari dan boleh siang hari. Wallâhu A’lam.